KATA PENGANTAR
Puji syukur kita ucapkan kehadirat
Allah SWT, karena berkat rahmat dan karunia-Nya lah makalah ini dapat
kami selesaikan. Shalawat dan salam tertuju buat Rasullullah SAW, yang telah
sukses mengembangkan agama Islam dalam kehidupan manusia.
Terima kasih kepada dosen yang mengajar mata kuliah Sosiologi
ekonomi yang telah membimbing kami dalam pembuatan makalah ini yang
membahas tentang Moral Ekonomi Dan Tindakan Ekonomi. Makalah ini berasal dari
tugas Sosiologi Ekonomi dari jurusan Ekonomi Islam di Fakultas Syari’ah,
IAIN Imam Bonjol Padang. Dengan tujuan dapat menjadi pedoman bagi mahasiswa
dalam menjalankan diskusi.
Padang,
21 April 2014
Penyusun
Novia Sari
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Moral ekonomi merupakan suatu trending
tipic yang diperbincangkan ditengah-tengah kalangan masyarakat
Internasional beriringan dengan derasnya arus globalisasi yang melanda dunia
saat ini.
Dalam kajian
sosiologi, Moral Ekonomi adalah suatu analisa tentang apa yang menyebabkan
seseorang berperilaku, bertindak dan beraktivitas dalam kegiatan perekonomian.
Hal ini dinyatakan sebagai gejala sosial yang berkemungkinan besar sangat
berpengaruh terhadap tatanan kehidupan sosial.[1]
Moral ekonomi merupakan suatu proses
pertukaran ekonomi dari produsen kepada konsumen melalui tindakan yang sentimen
dan melalui norma-norma yang mengatur tentang moral dalam melakukan suatu
kegiatan ekonomi, diamana pada saat ini norma-norma tersebut sudak banyak
terlupakan dalam melakukan kegiatan ekonomi.
Hal ini juga selaras dengan pendapat
yang dikemukakan oleh Sayer dalam Adams dan Raisborough (1998) yaitu moral
ekonomi merupakan pertukaran ekonomi melalui sentimen-sentimen dan norma-norma
moral.[2]
Ada dua faktor yang mendasari kenapa
moral ekonomi sampai menjadi trending topic ditengah-tengah masyarakat
Internasional, yaitu :
1. Berkaitan dengan semakin merabaknya
praktek fair trade[3]
yang menuntut komitmen yang tinggi antara produsen dan konsumen.
2. Adanya rutinitas harian masyarakat
yang tidak pernah terlepas dari kegiatan bisnnis yang memberi jarak moralitas
dalam melakukan kegiatan ekonomi.
Moral
ekonomi itu sendiri dihadapi oleh dua komunitas yang berbeda, yaitu komunitas
petani dan komunitas pedagang.
Dalam
makalah ini akan dibahas dua tulisan yang sama yaitu tentang moral ekonomi,
akan tetapi dalam konteks yang berbeda, yaitu : pertama, moral ekonomi petani
yang ditulis oleh James C Scott, dan kedua, moral ekonomi pedagang yang ditulis
oleh Hans Dieter Evers.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana teori moral ekonomi menurut
James C Scott jika diterapkan kepada petani?
2. Bagaimana teori moral ekonomi menurut
Hans Dieter Evers jika diterapkan kepada pedagang?
3. Apa perbedaan antara moral ekonomi
petani menurut James C Scott dengan moral ekonomi pedagang menurut Hans Dieter
Evers?
C. MAKSUD DAN TUJUAN
Melihat tatanan sosial dan ekonomi
petani setelah diterapkannya teori moral ekonomi menurut James C Scott dan Hans
Dieter Evers, dan perbedaan antara teori moral ekonomi James C Scott dengan
Hans Dieter Evers.
D. MANFAAT
Manfaatnya adalah menyeimbangkan
tatanan sosial dan ekonomi masyarakat petani dan pedagang dengan teori moral
ekonomi yang memiliki nilai-nilai etika dan konsep ekonomi sama rasa-sama rata
atau Communis (berbagi)
BAB II
PEMBAHASAN
A. Moral Ekonomi Petani
Dalam bukunya moral Economy Of
Peasant : Rebelliaon And Sebsistence In Southest Asia”, James C Scott
mendefenisikan moral ekonomi sebagai pengertian petani tentang keadaan ekonomi
dan defenisi kerja mereka tentang eksploitasi – pandangan mereka tentang
pungutan-pungutan hasil produksi mereka tentang mana yang dapat ditoleransi dan
mana yang tidak dapat. Setiap petani akan memperhatikan etika-etika susistensi[4]
dan norma-norma resiprositas[5]
yang berlaku dalam masyarakat mereka.[6]
Hal ini disebabkan karena tenaga kerja
merupakan satu-satunya faktor produksi yang dimiliki oleh petani yang relatif
melimpah. Oleh karena itu mereka tepaksa melakukan kegiatan-kegiatan yang
relatif berat dengan yang kecil demi memenuhi kebutuhan mereka. Seperti seorang
pekerja yang memindahkan bibit padi dari tempat penyemaian ke sawah dengan upah
yang relatif murah. Keharusan untuk memenuhi kebutuhan subsistensi keluarga,
membuat mereka rela melakukan apapun, bukan hanya dengan cara melakukan hal-hal
yang berat dengan upah yang realtif kecil, tetapi juga dengan cara menjual
hasil pertanian dengan harga yang sangat murah asalkan laku.
Sebagaimana pendapat Tweyney yang dikutip
oleh James C Scott “Ada daerah-daerah dimana posisi penduduk pedesaan ibarat
orang yang selamanya berdiri dalam air sampai keleher, sehingga ombak yang
sekecil apapun sudah cukup untuk menenggelamkannya”.[7]
Para petani cenderung mau membayar
lebih jika hendak menyewa tanah. Hal seperti ini berlaku bagi petani yang
mempunyai keluarga besar akan tetapi memiliki lahan sempit atau kekurangan
tanah, demi memenuhi kebutuhannya para petani tersebut mau membayar lebih
atau “hunger rents” selama tanah
tersebut mampu menambah isi periuk mereka.
1. Etika Subsistensi
Berdasarkan pandangan Scott, etika subsitensi
itu berawal dari kecemasan akan terjadinya kekurangan sebuah subsistensi.
Petani-petani yang berada dalam suatu kehidupan yang subsistem, yaitu kehidupan
yang berada dibatas minimal kebutuhan dasar dari satu musim panen ke musim panen
berukutnya. Sementara itu, dalam masyrakat berkembang hal seperti ini disebut
dengan moral subsistensi, yaitu adanya suatu jaminan sosial terhadap
petani-petani kecil.[8]
Seperti seorang petani yang sedang berada dalam masa-masa sulit (paceklik),
maka para Patron[9] wajib
memberikan pertolongan terhadap petani yang sedang mengalami kesulitan
tersebut, sedangkan petani kelas kecil (klien)[10]
mempunyai kewajiban untuk menolong Patron disaat ia sedang membutuhkan
pertolongan.
a. Ikatan Patron Klien
Hubungan patron klien -- sebuah
pertukaran hubungan antara kedua peran -- dapat dinyatakan sebagai kasus khusus
dari ikatan diadik (dua orang) yang terutama melibatkan persahabatan
instrumental, dimana seorang individu dengan status sosio-ekonomi yang lebih
tinggi (patron) menggunakan pengaruh dan suberdayanya untuk menyediakan
perlindungan atau keunttungan-keuntungan bagi seseorang dengan status yang
lebih rendah (klien).[11]
·
Terdapat ketidaksamaan
dalam pertukaran (inequality of exchange) yang menggambarkan perbedaan dalam
kekuasaaan, kekayaan dan kedudukan.
·
Adanya sifat
tatap muka (face to face character), dimana hubungan ini bersifat instrumental
yakni, kedua belah pihak saling memperhitungkan untung-rugi, meskipun demikian
masih terdapat unsur rasa yang tetap berpengaruh karena adanya kedekatan
hubungan.
·
Ikatan ini
bersifat luwes dan meluas (difuse flexibility), sifat meluas terlihat pada
tidak terbatasnya hubungan pada kegiatan kerja saja, melainkan juga hubungan
tetangga, kedekatan secara turun-menurun ataupun persahabatan dimasa lalu,
selain itu terdapat pertukaran bantuan tenaga (jasa), dan dukungan kekuatan
selain jenis-jenis pertukaran uang dan barang.
Ikatan antara Patron dan Klien,
merupakan suatu bentuk asuransi sosial yang terdapat dimana-mana dikalangan
petani Asia Tenggara. Seorang patron harus membantu klien-kliennya yang berada
dalam posisi sulit. Meskipun klien-klien tersebut seringkali berusaha
sebisa-bisanya untuk memberikan arti moral kepada hubungan patronase itu ada
segi baiknya, bukan karena dapat diandalkan melainkan mengingat sumberdayanya.[13]
b. Arus Patron Ke Klien[14]
Penghidupan subsistensi dasar. Pada banyak daerah agraria[15],
jasa utama dapat berupa pemberian pekerjaan tetap atau tanah untuk bercocok
tanam dan bisa juga mencakup penyediaan benih, peralatan, jasa pemasaran,
nasihat tekhnis, dan seterusnya.
Jaminan krisis subsistensi. Patron diharapkan memberikan
pinjaaman pada saat bencana ekonomi, membantu menghadapi keadaan sakit atau
kecelakaan, atau membantu pada pada waktu panen gagal.
Perlindungan. Perlindungan bisa berarti memelihara
sekelompok orang bersenjata atau janji untuk membalaskan dendam untuk klien.
Makelar[16] dan
pengaruh. Jika
patron melindungi kliennya dari perusakan yang berasal dari luar, ia juga
menggunakan, kekuatan dan pengaruhnya untuk menarik hadiah dari luar bagi
kepentingan kliennya.
Jasa patron kolektif[17]. Secara internal, patron sebagai
kelompok dapat melakukan fungsi ekonomi secara kolektif.
c. Arus Klien Ke Patron
Arus barang dan jasa dari klien ke
patron amat sukar untuk digolongkan karena, sebagai “orang” patronnya, seorang
kliennya umumnya menyediakan tenaga dan keahliannya untuk kepentingan patron,
apapun bentuknya.
2. Dahulukan Selamat
Dikarenakan begitu banyak dari
keluarga petani rumah tangga yang hidup begitu dekat dengan garis-garis batas
subsistensi dan menjadi sasaran bagi permainan alam serta menjadi
tuntutan-tuntutan dari pihak luar, jadi mereka lebih memilih untuk meletakkan
etika subistensi atas prinsip safety first (dahulukan keselamatan). Ini
dapat diartikan sebagai apabila dicapainya suatu tingkat krisis subsistensi,
tentu ini tidak berarti bahwa keluarga-keluarga petani yang hasil panennya
berada dibawah itu akan langsung mati
kelaparan.[18] tingkat
krisis suatu subsistensi merupakan batas dimana kemerosotan kualitatif dalam
hal subsistensi, keamanan, status, dan kohesi sosial terasa sangat berat dan
menyakitkan. Hal ini dilatarbelakangi oleh prinsip dahulukan selamat yang
dipakai oleh petani. Contohnya saja petani akan lebih memilih untuk menekan
resiko kegagalan dengan cara membeli bibit unggul dengan tingkat harga yang
relatif tinggi dan hasil yang sedikit, ketimbang mengambil resiko dengan cara
membeli bibit yang komersial untuk mendapatkan keuntungan yang tinggi.
Suatu asumsi yang kritis dari prinsip
dahulukan selamat adalah bahwa pekerjaan rutin subsistensi memberikan hasil
yang memuaskan. Ini dikarenakan para petani lebih memilih untuk meneruskan
rutinitas mereka, dan bagaimanapun itu tetaplah sebuah resiko. Para petani yang sedang mengalami
desintegrasi[19] seperti
kekurangan lahan atau sewa yang meningkat, mereka akan lebih memilih untuk
berpindah profesi menjadi petani komersil dengan mengambil resiko yang besar.
Berlandaskan prinsip etika subsistensi
bahwa subsistensi setiap keluarga petani dijamin selama persediaan sumber daya
yang masih ada didesa memungkinkannya. Ini berarti setiap warga desa harus siap
dengan resiko krisis subsistensi yang akan dihadapi jika persediaan sumber daya
itu habis. Jika hal ini terjadi, keluarga petani yang taraf perekonomiannya
lebih baik mempunyai kewajiban untuk menyumbangkan dana bagi keluarga petani
yang ditimpa kemalangan. Dan resikonya adalah warga yang taraf perekonomiannya lebih baik itu akan
mendapatkan gengsi yang lebih tinggi dibandingkan warga lainnya, sehingga ia
akan dikelilingi oleh klien yang akan memenuhi setiap perintahnya. Begitu juga
sebaliknya, apbila keluarga petani yanng taraf perekonomiannya lebih baik itu
tidak mau membantu keluarga petani yang sedang dihadapkan dengan masa-masa
sulit, maka ia akan dianggap sombong dan tidak memiliki gengsi dimasyarakat.
Kesulitan yang dialami oleh petani ini
juga memiliki sangkut paut dengan perekonomian dunia yang mempersulit
keterjaminan subsistensi petani. Penyebabnya adalah oleh pertumbuhan
negara-negara kolonial dan negara-negara komersial yang telah membawa petani
kedalam perekonomian dunia yang menindas kaum petani. Adapun faktor-faktor yang
menyebabkan hal ini terjadi adalah :[20]
1. Ketidakstabilan Yang Berasal Dari
Pasar
Ekonomi pasar yang diperkenalkan
kepada petani tidak hanya pasar lokal, tetapi juga pasar-pasar dunia. Yang mana
pada pada pasar dunia hubungan antara hasil panen dengan harga terputus. Dengan
demikian bisa saja hasil panen yang kecil mendapatkan harga yang tinggi
dipasar, begitupun sebaliknya.
2. Perlindungan Desa Yang Lemah
Terjadi erosi dalam pemberian
perlindungan dan pemikul resiko oleh kerabat dan pada nilai desa. Penyebabnya adalah
terjadinya perubahan struktural dalam masyarakat.
3. Hilangnya Sumber-Sumber Daya
Subsistensi Sekunder
Tempat-tempat yang biasanya dijadikan
oleh petani sebagai sumber daya subsisstensi sekunder, kini telah menjadi milik
komersial, dan siapa saja yanng ingin memanfaatkannya diwajibkan membayar
pajak.
4. Buruknya Hubungan Kelas Agraris
Hal ini desebabkan denga berpindah nya
peranan tuan tanah dari pelindung menjadi Impersonal dan kontraktual. Tuan
tanah tidak lagi berperan sebagai pemikul resiko dimasa sulit, akan tetapi ia
berubah menjadi tukang pungut uang sewa baik pada masa sulit maupun pada masa
lapang.
5. Negara Kolonial Yang Semakin Ekspresif
Dan Intensif Dalam Memungut Pajak.
Pada masa pemerintahak pra-kolonial,
yang dipungut bukan hanya pajak kepala[21]
dan pajak tanah, tetapi juga ditambah dengan pajak yang berkaitan dengan
subsistensi. Seperti pajak perahu, garam, dan lain sebagainya.
B. MORAL EKONOMI PEDAGANG
Hans
Dieter Evers sepakat dengan James C Scott mengenai masyarakat petani umumnya
dicirikan dengan tingkat solidaritas dengan suatu sistem nilai yang menekankan
tolong menolong, kepemilikan bersama sumber daya yang ada dan keamanan
subsistensi.[22] Hal ini
dapat dilihat dari status pemanfaatan bersama sumber daya yang ada, dan
menanggung resiko bersama jika krisis melanda keluarga petani tersebut. Dalam
keadaan sulit misalnya, maka petani yang bernasib kurang baik akan menjadi tanggung jawab orang yang berpunya.
Kondisi
seperti yang terjadi diatas telah mebuat para pedagang dilema untuk memilih
antara mengakumulasikan modal kepada tetangga ataukah mengakumulasikannya dalam
bentuk barang atau uang. Sebagaimana yang telah diungkapkan oleh Evers :
“Para
pedagang dalam masyarakat petani dihadapkan dengan sejumlah masalah pokok.
Pedagang mungkin harus membeli komoditas petani-petani yang masuk anggota dari
komunitas mereka sendiri, tetapi menjual komoditas tersebut kepada pihak-pihak
lain dari luar desa mereka. Didesa mereka sendiri, harga-harga dipengaruhi
–jika tak dapat dianggap ditentukan- oleh moral ekonomi terhadap harga-harga
yang wajar; serta dipengaruhi juga oleh keunggulan nilai pakai daripada nilai
tukar terhadap berbagai macam hasil panen subsistensi. Diluar desa para
pedagang dihadapkan dengan tuntutan anonim yang sering bersikap anarkis dan
berasal dari pasar terbuka dengan fluktuasi harga yang liar. Pedagang cenderung
terperangkap ditengah dan dalam hal ini disebut tengkulak karena mereka tidak
hanya menanggung resiko kerugian secara ekonomi tetapi juga resiko terhadap
diskriminasi dan kemarahan petani mengingat bahwa para pedagang diharapkan
membayar suatu harga wajar pada penghasil dari produk pertanian, maka mereka
harus menjual dengan harga pasar setempat, harga pasar tingkat nasional, dan
bahkan sampai harga pasat tingkat internasional. Tentu saja perbedaan harga
juga akan mengubah keuntungan para pedagang, serta membuka kesempatan untuk
memperoleh laba yang besar. Dalam hal ini mereka dianggap tidak mau mengalah
pada moral ekonomi para petani serta mendistribusikan kembali keuntungan yang
mereka peroleh kepada teman-teman, tetangga, dan pelanggan.”[23]
Hans Dieter Evers menggunakan pendekatan
sosiologi ekonomi baru dalam membedah moral ekonomi pedagang. Ia melihat
tindakan ekonomi merupakan proses interaksi yang berlangsung antara individu (pedagang)
dan individu (petani sebagai pelanggan atau pedagang lain), antara individu
(pedagang) dengan kelompok (kelompok pedagang) dan antara kelompok
(kelompok pedagang) dengan kelompok (kelompok petani). Proses interaksi
tersebut terjadi secara terus menerus dan terus diinterpretasikan sesuai dengan
konteks dan sejarah dari proses tersebut.[24]
Hans Dieter Evers mengatakan bahwa para
pedagang sering mengalami dilema antara apabila ia menjual barangnya dengan
harga tinggi, maka dikhawatirkan kalau nanti tidak akan laku terjual, atau
mengungdang pemikiran yang negatif ditengah-tengah masyarakat bahwa pedagang
tersebut rakus dengan keinginan untuk meraup untung yang tinggi. Sedangkan
apabila ia menjual barang dagangannya dengan harga murah dengan modal yang cukup
tinggi, tentu saja ini akan mengakibatkan pedagang tersebut rugi, dan apabila
pedagang bermurah hati untuk memberikan kredit kepada masyarakat dalam jangka
waktu yang lama dengan cara memperpanjang waktu pembayaran, ini juga bisa
mengakibatkan pedagang merugi atau bahkan bangkrut.
Hal seperti ini dapat kita cermati
dalam contoh kasus seperti seorang yang mempunyai usaha warung harian disebuah
desa, maka orang tersebut secara otomatis akan mengalami dilema tentang berapa
harga yang harus ditetapkan. Jika ia menetapkan harga yang tinggi tetapi masih
bisa dijangkau oleh perekonomian masyarakat, ia mengalami kekhawatiran jikalau
nanti orang akan beranggapan bahwa ia ingin meraup keuntungan yang tinggi tanpa
memperdulikan nasib rakyat disekitarnya, akan tetapi jika ia meletakkan harga
yang rendah pada dagangannya dan juga memberikan kredit dengan jangka waktu
yang panjang dikhawatirkan kalau nantinya ia akan gulung tikar.
Jika pedagang menghadapi hal seperti
ini, maka pedagang harus berusaha mencari jalan keluarnya sendiri, seperti
dengan cara merantau atau membuka usaha di daerah lain. Pedagang merupakan
manusia yang kreatif dan dinamis, hal ini dapat dilihat dari keadaan dimana
para pedagang tidak tertumpu kepada norma-norma yang ada didalam masyarakat,
mereka bisa mnyelesaikan masalah pribadi mereka tanpa melanggar norma yang
berlaku ditengah-tengah masyarakat.
Pada dasarnya setiap manusia yang
melakukan kegiatan ekonomi akan mengalami hal yang sama dalam dilema yang
menimpa mereka, baik itu berasal dari kalangan petani, pedagang, masyarakat
yang tinggal di desa, maupun orang-orang yang tinggal diperkotaan. Apabila
mereka dihadapkan dengan masalah yang bersangkut paut dengan subsistensi atau
resiprositas, maka mereka pasti akan melakukan hal apapun demi memenuhi
kebutuhan mereka tersebut, baik dengan cara mennjual, menggadai atau mungkin
meminjam uang kepada orang lain. Mereka melakukan ini demi mengamankan posisi
mereka dalam menghadapi persaingan yang ada.
Untuk menyikapi hal seperti diatas
Evers telah menemukan lima cara yang bisa dilakukan oleh pedagang, yaitu :[25]
1. Imigrasi Pedagang Minoritas
Sebuah kelompok minoritas baru dapat
terbentuk melalui migrasi atau etnogenesis, yaitu munculnya identitas etnis
baru. Seperti orang Batak yang beragama Kristen membuka usaha dagang secara
“kredit” di tengah-tengah masyarakat Minangkabau ynag mayoritas beragama Islam.
Sementara itu sudah menjadi rahasia umum bahwa masyarakat Minagkabau mempunyai
jiwa wiraswasta yang tinggi dibandingkan dengan etnis-etnis lainnya. Hal ini dapat dibuktikan dari berhasilnya
masyarakat Minangkabau mendominasi perdagangan dibeberapa kota-kota besar di
Indonesia, sebut saja salah satu contohnya adalah di Jakarta seperti di Blok A,
Tanah Abang, dan lain-lain. Akan tetapi dikampung halaman mereka sendiri orang
bataklah yang mendominasi perdagangan. Fonomena ini disebabkan karena tejadinya
dilema antara mencari keuntungan untuk mengakumulasikan modal atau malah
kewajiban moral yang harus dibayarkan kepada karib kerabat atau orang
sekampung. Jadi, untuk menyikapi hal ini, lebih baik para pedagang tersebut
pergi merantau dan melakukan kegiatan ekonomi disana.
2. Pembentukan Kelompok-Kelompok Etnis
Atau Religius
Munculnya dua komunitas moral yang
menekankan pentingnya kerja sama tetapi tidak keluar dari batas-batas moral.
Seperti pedagang kredit yang dibutuhkan oleh masyarakat Minagkabau untuk
memenuhi kebutuhan sandang yang baru, sedangkan pedagang sendiri mendapatkan
untung yang lebih besar karena harga barang yang dijual relatif lebih tinggi
dibandingkan dengan harga dipasaran. Ini mengakibatkan adanya simbiosis
mutualisme antara masyarakat Minagkabau dengan pedagang kredit yang berasal
dari Batak.
3. Akumulasi Status Kehormatan
Melalui peningkatan akumulasi modal
budaya berarti adanya peningkatan derajat kepercayaan masyarakat untuk
melakukan aktivitasnya. Seperti yang dikutip dari contoh yang diberikan oleh
Geerzt tentang santri pada sektor perdagangan orang Jawa, kedermawanan,
keterlibatan dalam urusan masyarakat, berziarah, menunaikan ibadah haji yang
dilakukan oleh santri memberikan dampak positif kepada akumulasi modal budaya
yang dimiliki. Dengan kata lain, peningkatan akumulasi modal budaya berarti
peningkatan kepercayaan masyarakat, sehingga memudahkan pedagang untuk
melakukan aktifitasnya.
4. Munculnya Perdagangan Kecil Dengan
Ciri Ada Uang “Ada Barang”.
Dengan mengambil fenomena pedagang
bakul di Jawa, pedagang bakul akan bersikeras melakukan transaksi dengan cara
“ada uang ada barang”, dan menghindari masalah hutang piutang dengan pelanggan.
Menurut Evers perdagangan kecil yang dilakukan seperti itu merupakan ciri-ciri
standar pada semua masyarakat petani. Dengan ciri-ciri yang dimiliki oleh perdagangan kecil tersebut memungkinkan untuk menghindari dilema yang
biasanya dihadapai pedagang dalam masyarakat petani.
5. Depersonalisasi (Ketidaklekatan)
Hubungan-Hubungan Ekonomi
Jika ekonomi pasar berkembang dan
hubungan-hubunngan ekonomi relatif tidak terlekat atau terdiferensiasi, maka
dilema yang dihadapi pedagang ditransformasikan
kedalam dilema sosial semua pasar ekonomi kapitalis. Ini berarti suatu
ekonomi modern memerlukan rasionalisasi hubungan-hubungan ekonomi dan
keunggulan produktifitas di satu sisi,
keadilan dan retribusi di sisi lain juga dibutuhkan untuk mempertahankan
legitimasi penguasa serta tatanan sosial dan politiknya. Ini bukan berarti
dilema yang dihadapi pedagang hilang, tetapi nilainya turun dan
ditransformasikan kedalam suatu figur sosial dan budaya baru.
C. PERBEDAAN MORAL EKONOMI PETANI DENGAN
MORAL EKONOMI PEDAGANG
Dari dua penelitian tentang moral
ekonomi yang dilakukan dengan obyek yang berbeda yaitu moral ekonomi petani
menurut James C Scott dan moral ekonomi pedagang menurut Hans Dieter Evers,
memberikan kesimpulan bahwa reaksi petani dan pedagang dalam menerima moral
ekonomi berbeda.
Pada kelompok masyarakat petani,
tindakan ekonomi merupakan cerminan langsung dari moral ekonomi yang mereka
terima. Sedangkan pada kelompok masyarakat pedagang ia merupakan kombinasi
antara moral ekonomi dan kepentingan ekonomi.[26]
Perbedaan ini muncul karena obyek yang diteliti berbeda, dan metode atau
pendekatan yang digunakan tidak sama.
Perbedaan-perbedaan tersebut dapat
dilihat dari berbagai sudut pandang, diantaranya :
1. Hakikat Manusia
Dalam pandangan James C Scott, manusia
merupakan makhluk yang terikat kepada norma-norma yang berlaku ditengah-tengah
masyarakat, termasuk moral ekonomi. Manusia ibaratkan robot yang harus tunduk
dan patuh terhadap norma-norma tersebut, dan setiap tindakan yang mereka
lakukan harus merujuk kepada norma-norma yang terdapat dalam masyarakat
tersebut.
Sementara dalam pandangan Hans Dieter
Evers, manusia merupakan makhluk yang relatif kreatif. Memang terdapat
norma-norma yang mengganjal para pedagang dalam mencapai kepentingan pribadi
mereka, seperti norma adat, hukum dan lain sebagainya, namun mereka berusaha
untuk mencari solusi antara kepentingan individu mereka dengan kepentingan
masyarakat. Solusi tersebut ditemukan dengan cara berinteraksi antara individu
dengan individu, individu dengan kelompok, dan kelompok dengan kelompok.
2. Dimensi Moral
James C Scott memandang moral ekonomi
dalam suatu kelompok masyarakat petani sebagai suatu yang statis. Hal ini dapat
diidentifikasi dengan cara mempehatikan para pengemban moral, prilaku mereka
haruslah sesuai dengan norma-norma moral yang berlaku. Jika suatu individu ada
yang keluar dari kewajiban moral yang seharusnya ia emban, maka ia akan
dikucilkan dari masyarakat, dan ia akan kehilanga reputasinya sebagai warga
yang terhormat.
Sedangkan Hans Dieter Evers melihat
kolompok masyarakat petani itu sebagai makhluk yang dinamis. Moral yang
berkembang ditengah-tengah masyarakat merupakan suatu yang dipertentangkan oleh
para pedagang dengan kepentingan pribadinya. Situasi ini mendatangkan dilema
bagi para pedagang, namun situasi ini pula yang memberi solusi kepada para
pedagang untuk menemukan moral baru.
3. Tindakan Ekonomi
Menurut James C Scott, tindakan
ekonomi merupakan refleksi langsung dari tindakan ekonomi, selama tidak keluar
dari etika subsistensi.
Menurut Evers, tindakan ekonomi
merupakan sintesis dari tindakan ekonomi yang ada, dan kepentingan ekonomi yang
dimiliki yaitu akumulasi modal dalam bentuk barang dan uang.
4. Pedekatan
Pendekatan yang digunakan Scott dalam
membahas moral ekonomi petani adalah perspektif aktor lebih tersosialisasi.
Sedangkan Evers menggunakan pendekatan
sosiologi ekonomi dalam membedah moral ekonomi pedagang. Mereka melihat
tindakan ekonomi sebagai suatu proses interaksi antara individu pedagang dengan
individu petani, dan individu pedagang dengan kelompok pedagang, dan kelompok pedagang
dengan kelompok petani
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dari penjabaran isi makalah diatas
dapat ditarik kesimpulan bahwa perbedaan yang mendasar antara moral ekonomi
menurut James C Scott dengan Hans Dieter Evers adalah bahwa moral ekonomi
petani menurut James C Scott lebih mengutamakan rasa solidaritas antar rumah
tangga petani, dengan cara memanfaatkan sumber daya yang ada pada saat
memungkinkan bersama-sama, dan pada saat sulit
patron akan menjamin kelangsungan hidup Kliennya.
Sementara moral ekonomi pedagang masih
mengalami dilema dalam menentukan tindakan antara moral ekonomi dengan
kepentingan pribadi. Dan Evers memberikan solusi untuk memecahkan dilema yang
dihadapi oleh para pedagang dengan memberikan lima solusi, yaitu :
1. Imigrasi pedagang minoritas
2. Pembentukan kelompok-kelompok etnis
atau religius
3. Akumulasi status kehormatan
4. Munculnya perdagangan kecil dengan
ciri ada uang “Ada Barang”.
5. Depersonalisasi (ketidaklekatan)
hubungan-hubungan ekonomi
Ada 4
faktor perbedaan yang mendasar dari moral ekonomi petani dan moral ekonomi
pedagang, yaitu :
1. Hakikat manusia
Dalam pandangan James C Scott, manusia
merupakan makhluk yang terikat kepada norma-norma yang berlaku ditengah-tengah
masyarakat, termasuk moral ekonomi.
Dalam pandangan Hans Dieter Evers, manusia
merupakan makhluk yang relatif kreatif.
2. Dimensi moral
James C Scott memandang moral ekonomi
dalam suatu kelompok masyarakat petani sebagai suatu yang statis.
Hans Dieter Evers melihat kolompok
masyarakat petani itu sebagai makhluk yang dinamis.
3. Tindakan ekonomi
Menurut James C Scott, tindakan
ekonomi merupakan refleksi langsung dari tindakan ekonomi, selama tidak keluar
dari etika subsistensi.
Menurut Evers, tindakan ekonomi
merupakan sintesis dari tindakan ekonomi yang ada, dan kepentingan ekonomi yang
dimiliki yaitu akumulasi modal dalam bentuk barang dan uang.
4. Pedekatan
Pendekatan yang digunakan James C
Scott dalam membahas moral ekonomi petani adalah perspektif aktor lebih
tersosialisasi.
Hans Dieter Evers menggunakan
pendekatan sosiologi ekonomi dalam membedah moral ekonomi pedagang.
B. SARAN
Penulis
menyadari akan banyaknya kekurangan dalam penulisan makalah ini, oleh karena
itu penulis banyak berharap kepada para pembaca yang budiman agar sudi
memberikan kritik dan saran yang membangun kepada penulis demi sempurnanya
makalah ini dan dan penulisan makalah di kesempatan-kesempatan berikutnya.
Semoga makalah ini berguna bagi penulis pada khususnya juga para pembaca yang
budiman pada umumnya.
[1] Meri Susanti,dkk,Moral Ekonomi Dan Tindakan Ekonomi,Diambil Dalam
Makalah Moral Ekonomi Dan Tindakan Ekonomi,Padang : 2011,hal. 1
[2] Sindung Harianto,Sosiologi Ekonomi,Jogjakarta(Ar-Ruzz
Media,2011), Hal. 80
[3] Fair Trade Merupakan Perdagangan Yang
Berdasarkan Pada Dialog, Keterbukaan Dan Saling Menghormati Yang Bertujuan
Untuk Mencapai Keadilan Serta Pembangunan Yang Berkesinambungan. Dikutip dari
makalah (Http://Felixsharieff.Wordpress.Com/2009/12/15/Fair-Trade-Vs-Free-Trade/), Sabtu, 19 April 2014,
pukul 20.58
[4]
Subsistensi adalah suatu kemandirian yang ditentuka bukan dengan mengacu
pada sesuatu yang lain, tetapi pada dirinya sendiri. Honda Cb Modivikasi,Pengertian
Dan Arti Susistensi,Dalam Makalah (http://hondacbmodifikasi.com/pengertian-arti-subsistensi/), Senin, 14 April
2014, Pukul 23.12
[5] Norma Resiprositas Merupakan Pertukaran Timbal Balik Antar Individu Atau Antar Kelompok Yanng Selalu Ada Dalam Setiap Masyarakat. FaiRyLanD TinY, Resprositas,Dalam makalah (http://tinykartini.blogspot.com/2012/12/resiprositas.html), Senin, 14 April 2014, pukul 22.52
[6] Damsar Dan Indrayani,Pengantar Sosiologi
Ekonomi Edisi Kedua,Jakarta(Kencana Pernada Media Grup,2009),Hal. 229
[7] James C Scott,Moral Ekonomi Petani
Pergolakan Dan Susistensi Di Asia Tenggara,Jakarta(LP3S,1981),Hal. 1
[8] Sindung Harianto,Op.Cit,Hal, 83-84
[9] Patron Merupakan Seseorang Yang
Memiliki Kekuasan (Power), Status, Wewenang Ataupun Pengaruh Dalam Masyarakat.
Dikutip dari (https://id.answers.yahoo.com/question/index?qid=20100918213020AAWD80B). Senin, 14 April 2014, pukul 22.30
[10] Klien Adalah Bawahan, Atau Orang Yang
Dapat Disuruh-Suruh. Dikutip dari (https://id.answers.yahoo.com/question/index?qid=20100918213020AAWD80B). Senin, 14 April 2014, pukul 22.30
[11] James C Scott,Perlawanan Kaum Petani,Jakarta
(Yayasan Obor Indonesia,1993),hal. 7
[12] Hurin Inns,Patron-Klien,Dalam Makalah
(Http://Primsacc12.Blogspot.Com/2012/10/Patron-Klien.Html), Sabtu, 19 April 2014, Pukul 20.49
[13] James C Scott,op.cit,hal. 41
[14] James C Scott,op.cit,hal. 9
[15] Agraria
adalah urusan tanah dan segala yang ada di dalam dan di atasnya. Apa yang ada
di dalam tanah. Muhammad Zarfan ‘Alim,Pengertian Agraria,Dalam makalah (http://zharfan29.blogspot.com/2011/07/pengertian-agraria.html), Senin, 21 April 2014, pukul, 14.47
[16] Perantara perdagangan (antara pembeli dan
penjual); orang yg menjualkan barang atau mencarikan pembeli; pialang, dikutip
dari (http://artikata.com/arti-339408-makelar.html), senin, 21 April 2014, pukul 15.06
[17] Perilaku kolektif adalah cara orang bertindak
dalam kerumunan dan kelompok-kelompok besar yang tidak terorganisasi
lainnya. Bangmu 2,pengertian perilaku kolektif,Dalam Makalah (http://www.bangmu2.com/2013/02/pengertian-perilaku-kolektif.html), Senin, 21 April 2014, Pukul 15.17
[18] James C Scott,Op.Cit,Hal, 25-26
[19] Desintegrasi merupakan keadaan tidak
bersatu padu; keadaan terpecah belah; hilangnya keutuhan atau persatuan;
perpecahan, dikutip dari (http://artikata.com/arti-325381-disintegrasi.html), Senin, 14 April 2014,Pukul 20.16
[20] Damsar,Sosioligi Ekonomi,Jakarta(PT
Raja Grafindo Persada,2002),Hal. 71-72
[21] Pajak Kepala Merupakan Pajak Yang
Dibebankan Kepada Setiap Individu
[22] Damsar,Op.Cit,Hal. 74
[24]Dalam makalah (http://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=2&ved=0CCwQFjAB&url=http%3A%2F%2Frepository.usu.ac.id%2Fbitstream%2F123456789%2F30526%2F3%2FChapter%2520II.pdf&ei=vAxMU5XJO8ebiQfYuoHIDg&usg=AFQjCNGXZcM46VQ59jPsBtPkcTeEK4hyIg&bvm=bv.64542518,d.aGc), Minggu, 13 April 2014, pukul 13.06
[26] Damsar,op.cit,hal. 79-80
Best Casinos in San Diego - Mapyro
BalasHapusCheck 김해 출장안마 out the best casinos 김포 출장마사지 and restaurants in 사천 출장마사지 San Diego including, compare hotel deals, see 화성 출장안마 60 photos and 4 tips from 1574 visitors 여주 출장샵 about gaming.