Rabu, 02 April 2014

wadhihah



WADHIHAH
A.    Zhâhir
Terdapat beberapa rumusan yang berbeda di kalangan ulama ushul mengenai definisi zhâhir, di antaranya:
a.       Menurut Al-Sarkhisi, zhâhir adalah

مَا يُفْهَمُ الْمُرَادُ مِنْهُ بِنَفْسِ السَّمَاعِ مِنْ غَيْرِ تَأَمُّلٍ

“Dari apa-apa yang didengar meskipun tanpa pemahaman yang mendalam dapat diketahui apa sebenarnya yang dimaksud oleh pembicara dengan lafaz itu”.[1]

  


               Zhâhir, yaitu apa yang menunjukan maksud daripadanya itu dengan sighat itu sendiri, tanpa menghentikan faham maksudnya itu terhadap urusan luar. Dan apa yang dimaksudnya itu ialah hal-hal yang menjadi pokok pembicaraan. Dia mengandung takwil. Bila ada maksud memahami kata-kata tanpa memerlukan qarinah. Tidak ada maksud asli dari pembicaraan. Kata-katanya itu di’itibarkan dengan jelas.[2]

Berikut adalah beberapa contoh dari lafaz zhâhir:

·         QS. Al-Baqarah (2) ayat 275:
Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.

Ayat ini jelas sekali mengandung pengertian bahwa jual beli itu hukumnya halal dan riba itu hukumnya haram, karena makna inilah yang mudah dan cepat ditangkap oleh akal seseorang tanpa memerlukan qarînah yang menjelaskannya.[3] Meskipun demikian, ungkapan ayat tersebut bukanlah sekedar untuk menyatakan hal tersebut. Akan tetapi, untuk menafikan apa yang dibayangkan orang tentang jual beli dan riba, dan menolak apa yang dikatakan orang bahwa jual beli itu adalah seperti riba, bukan untuk menyatakan hukum kedua hal ini.[4]

·         QS. Al-Hasyr (59) ayat 7:
Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah.

Ayat tersebut begitu jelas artinya, yaitu keharusan menaati apa yang disuruh Rasul baik mengenai apa yang disuruhnya dan apa yang dilarangnya, karena inilah yang mudah dipahami secara cepat (mudah).[5] Namun, bukan ini maksud pokok pembicaraan. Yang menjadi pokok ialah harta rampasan yang diberikan oleh Rasul, ketika dia membagi-bagikannya, maka ambillah. Dan apa-apa yang dilarangnya maka hentikanlah.[6]
Ketentuan yang menyangkut lafaz zhâhir adalah bila berhubungan dengan hukum, maka wajib mengamalkan hukum menurut lahirnya selama tidak ada dalil lain yang menunjukkan lain dari lafaz itu.[7] Dia juga mengandung takwil, artinya penyimpangan dari zahirnya dan ada maksud lain dari artinya itu.
B.     Nash
Seperti halnya zhâhir, terhadap nash pun para ulama ushul berbeda dalam merumuskan definisinya, di antaranya:
Menurut Ulama Hanafiyah, nash adalah:
هُوَ مَا دَلَّ بِنَفْسِ صِيْغَتِهِ عَلَى الْمَعْنَى الْمَقْصُوْدِ أَصَالَةً عَلَى مَا سِيْقَ لَهُ وَ يَحْتَمِلُ التَّأْوِيْلِ
Lafaz yang dengan sighatnya sendiri menunjukkan makna yang dimaksud secara langsung menurut apa yang diungkapkan, dan ada kemungkinan ditakwilkan.[8]

Nash, yaitu apa yang ditunjukkan oleh sighatnya itu sendiri terhadap arti yang dimaksud dari pokok pembicaraan. Dan mengandung takwil. Apabila maksud itu cepat difahami dari lafadznya dan tidak terhalang memahaminya terhadap urusan luar, adalah maksud pokok pembicaraan.

Berikut adalah beberapa contoh dari lafaz nash terdapat dalam QS. Al-Baqarah (2) ayat 275:
Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.

Secara nash, ayat tersebut bertujuan untuk menyatakan perbedaan nyata antara jual beli dengan riba sebagai sanggahan terhadap pendapat orang yang menganggapnya sama. Hal ini dapat dipahami dari ungkapan keseluruhan ayat tersebut. Meskipun maksud ayat ini sudah sangat jelas, namun dari ayat ini dapat pula dipahami maksud lain, yaitu halalnya hukum jual beli dan haramnya hukum riba. Pemahaman ini disebut pemahaman secara zhâhir. 

 Sebagaimana yang terdapat dalam surat Al-Hasyr (59) ayat 7:
Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah.

Ayat ini secara nash bertujuan untuk menyatakan keharusan mengikuti Rasul tentang pembagian harta rampasan, baik yang dibolehkan maupun yang tidak. Namun dari ayat ini pula dapat dipahami artinya secara zhâhir, bahwa kita wajib mengerjakan apa yang disuruh Rasul dan menghentikan apa yang dicegah Rasul untuk mengerjakannya.[9]
Nash itu dalam penunjukannya terhadap hukum adalah lebih kuat dibandingkan dengan zhâhir, karena penunjukan nash lebih terang dari segi maknanya. Nash itulah yang dituju menurut ungkapan “asal”, sedangkan zhâhir bukanlah tujuan langsung dari pihak yang mengungkapkannya. Oleh karena itu, makna yang dituju secara langsung itu lebih mudah untuk dipahami dibandingkan dengan makna lainnya yang tidak langsung. Atas dasar itu, apabila terdapat pertentangan makna antara nash dengan zhâhir dalam penunjukannya, maka didahulukan yang nash.

C.    Mufassar
Ada beberapa definisi tentang mufassar, di antaranya:
1.      Menurut Abdul Wahab Khalaf, mufassar adalah:

مَا دَلَّ بِنَفْسِ صِيْغَتِهِ عَلَى مَعْنَاهُ الْمُفَصَّلِ تَفْصِيْلًا بِحَيْثُ لَايَبْقَى مَعَهُ احْتِمَالٌ لِلتَّأْوِيْلِ

Suatu lafaz yang dengan sighatnya sendiri memberi petunjuk kepada maknanya yang terinci, begitu terincinya shingga tidak dapat dipahami adanya makna lain dari lafaz tersebut.

2.      Menurut Al-Uddah, mufassar adalah:
مَا يُعْرَفُ مَعْنَاهُ مِنْ لَفْظِهِ وَلَا يَفْتَقِرُ إِلَى قَرِيْنَةِ تَفْسِيْرِهِ

“Sesuatu lafaz yang dapat diketahui maknanya dari lafaznya sendiri tanpa memerlukan qarinah yang menafsirkannya.”

Dari beberapa definisi di atas dapat diketahui bahwa hakikat lafaz mufassar adalah penunjukannya terhadap maknanya jelas sekali, penunjukannya itu hanya dari lafaznya sendiri tanpa memerlukan qarînah dari luar, serta tidak mungkin dita’wîl-kan.
Mufassar terbagi dalam dua macam, yaitu:
a.       Menurut asalnya, lafaz itu memang sudah jelas dan terinci sehingga tidak perlu penjelasan lebih lanjut.[17] 

Contohnya QS. An-Nur (24) ayat 4:
Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, Maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera.

Bilangan yang ditetapkan dalam ayat ini jelas dan terurai yaitu delapan puluh kali dera, tidak ada kemungkinan untuk dipahami dengan lebih atau kurang dari bilangan itu.
b.      Asalnya lafaz itu belum jelas (ijmal) dan memberikan kemungkinan beberapa pemahaman. Artinya Kemudian datang dalil lain yang menjelaskan artinya sehingga ia menjadi jelas. Lafaz seperti itu, juga disebut dengan “mubayyan”.

  Contohnya QS. An-Nisa (4) ayat 92:
Orang-orang yang membunuh orang beriman secara tidak sengaja, hendaklah ia memerdekakan hamba sahaya dan menyerahkan diyat kepada keluarganya.

Ayat ini menyangkut keharusan menyerahkan diyat kepada keluarga korban, tetapi tidak dijelaskan mengenai jumlah, bentuk, dan macam diyat yang harus diserahkan itu. Sesudah turun ayat ini datang penjelasan dari Nabi dalam sunnah yang merinci keadaan dan cara membayar diyat itu sehingga ayat di atas menjadi terinci dan jelas artinya.
Lafaz mufassar itu dari segi penunjukannya terhadap makna yang dimaksud lebih jelas dari lafaz nash dan lafaz zhâhir, karena lafaz-nya memang lebih jelas dibandingkan dengan nash dari segi tafsirannya yang terinci, sehingga menjadikan mufassar tidak mungkin untuk di-takwil dan apa yang dituju menjadi terang. Karena penjelasan mufassar itu lebih kuat dari nash dan zhâhir, bila terjadi perbenturan pemahaman antara keduanya, maka harus didahulukan yang mufassar.
D.    Muhkam
Lafaz yang muhkam ialah:
مَادَلَّ بِنَفْسِ صِيْغَتِهِ عَلَى مَعْنَاهُ الْوَضْعِىِّ دَلَالَةً وَاضِحَةً بِحَيْثُ لَايَقْبَلُ الْإِبْطَالَ وَ التَّبْدِيْلَ وَ التَّأْوِيْلَ
“Suatu lafaz yang dari sighatnya sendiri memberi petunjuk kepada maknanya sesuai dengan pembentukan lafaznya secara penunjukan yang jelas, sehingga tidak menerima kemungkinan pembatalan, penggantian maupun ta’wil.”

Muhkam juga dapat berarti lafal yang menujukkan kepada maknanya secara jelas sehingga tertutup kemungkinan untuk di-ta’wil, dan menurut sifat ajaran yang dikandungnya tertutup pula kemungkinan pernah dibatalkan (nasakh) oleh Allah dan Rasul-Nya. Hukum yang ditunjukkannya tidak menerima pembatalan (nasakh), karena merupakan ajaran-ajaran pokok yang tidak berlaku padanya nasakh, misalnya kewajiban menyembah hanya kepada Allah, kewajiban beriman kepada rasul dan kitab-kitab-Nya, dan pokok-pokok keutamaan, seperti berbuat baik kepada kedua orang tua, dan kewajiban menegakkan keadilan. Ayat-ayat seperti ini menunjukkan kepada pengertiannya secara pasti (qath’i), tidak berlaku ta’wil padanya, dan tidak pula ada kemungkinan telah di-nasakh pada masa Rasulullah.[10]
Berikut ini adalah contoh dari lafaz muhkam, yaitu:
·         Sabda Nabi Muhammad:
اَلْجِهَادُ جَاضٍ إِلَى يَوْمِ اْلقِيَّامَةِ
Jihad itu berlaku sampai hari kiamat.[11]

Penentuan batas hari kiamat untuk jihad itu menunjukkan tidak mungkin berlakunya pembatalan dari segi waktu.

·         QS. An-Nur (24) ayat 4:
“Jangan kamu terima dari mereka kesaksian selama-lamnya.

Kata  (selama-lamanya) dalam ayat tersebut menunjukkan bahwa tidak diterima kesaksiannya itu berlaku untuk selamanya, dalam arti tidak dapat dicabut.
Lafaz muhkam terbagi atas dua macam, yaitu:
a)      Muhkam lizâtihi atau muhkam dengan sendirinya bila tidak ada kemungkinan untuk pembatalan atau nasakh itu disebabkan oleh nash (teks) itu sendiri. Tidak mungkin nasakh muncul dari lafaz-nya dan diikuti pula oleh penjelasan bahwa hukum dalam lafaz itu tidak mungkin di-nasakh.[12]
b)      Muhkam lighairihi atau muhkam karena faktor luar bila tidak didapatnya lafaz itu di-nasakh bukan karena nash atau teksnya itu sendiri tetapi karena tidak ada nash me-nasakh-nya. Lafaz dalam bentuk ini dalam istilah ushul disebut lafaz yang qath’i penunjukannya terhadap hukum.
Ketentuan tentang lafaz muhkam bila menyangkut hukum, adalah wajib hukum itu secara pasti dan tidak mungkin dipahami dari lafaz tersebut adanya alternatif lain, serta tidak mungkin pula di-naskh oleh dalil lain. Penunjukan lafaz muhkam atas hukum lebih kuat dibandingkan dengan tiga bentuk lafaz sebelumnya, sehingga bila berbenturan pemahaman antara lafaz muhkam dengan bentuk lafaz yang lain, maka harus didahulukan yang muhkam dalam pengamalannya.


[1] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, Ed. 1, Cet. v, Jakarta: Kencana, 2009, h. 4.
[2] ]Syekh Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih, alih bahasa Halimuddin, Cet. v, Jakarta: PT Rineka Cipta, 2005, h. 200.
[3] Opcit, hal:5
[4] Syekh Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih, h. 201.
[5] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, h. 5.
[6] Syekh Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih, h. 201.
[7] Opcit. Hal 5-6
[8] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, h. 6-7.

[9] Ibid, hal: 9
[10] Satria Effendi, Ushul Fiqh, Ed. 1, Cet. ii, Jakarta: Kencana, 2008, h. 225-6.
[11] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, h. 12.
[12] Ibid, hal: 13


Syarifuddin, Amir.2009. Ushul Fiqh Jilid 2. Jakarta: Kencana
Khallaf, Syekh Abdul Wahab.2005.Ilmu Ushul Fikih. Jakarta: PT Rineka Cipta
 Effendi, Satria.2008. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana

Tidak ada komentar:

Posting Komentar