Minggu, 16 Maret 2014



HAK DAN PERMASALAHANNYA
A.    Pengertian Hak
Kata hak secara etimologi mempunyai pengertian yang berbeda, diantaranya berarti milik, pasti, ketetapan, dan kepastian. [1] Kata Hak juga mempunyai makna  الوجوب  و الثبوت   yang artinya tetap dan wajib.[2] Sebagaimana terdapat dalam surat Yasin Ayat 7 yang berbunyi:
  
"Sesungguhnya telah pasti berlaku perkataan (ketentuan) Allah terhadap kebanyakan mereka, karena mereka tidak beriman."
Kata hak pada ayat ini berarti tetap dan pasti. Sedangkan hak dengan pengertian wujub terdapat dalam Qs. Al-Baqarah Ayat 241, yang berbunyi :

"Dan bagi wanita-wanita yang ditalak (hendaklah diberikan oleh suaminya) mut’ah menurut yang ma’ruf sebagai suatu kewajiban bagi orang-orang yang bertaqwa."
Kata hak pada ayat ini berarti kewajiban.  Kata hak juga diartikan dengan menetapkan dan menjelaskan sebagaimana tercantum dalam Surat Al-Anfal Ayat 8, yang berbunyi :
"Agar Allah menetapkan yang hak (islam)dan membatalkan yang batil (syirik)......."
Kata hak juga  diartikan dengan kebenaran, sebagaimana yanng tercantum dalam Surat Yunus Ayat 35, yang berbunyi :[3]
:"Katakanlah : “Apakah diantara sekutu-sekutumu ada yang menunjuki kepada kebenaran?”
Di dalam Kamus Bahasa Indonesia hak memiliki pengertian tentang sesuatu hal yang benar, milik, kepunyaan, kewenangan, kekuasaan untuk berbuat sesuatu (krn telah ditentukan oleh undang-undang, aturan, dsb), kekuasaan yang benar atas sesuatu atau untuk menuntut sesuatu, derajat atau martabat.[4]
Defnisi Hak secara terminologi mengalami perbedaan pada kalangan ulama Fiqh. Diantaranya adalah :

الحكم الثابت شرعا
Hukum yang ditetapkan secara syara’
Defenisi ini dikemukakan oleh sebagian ulama fiqh muta’akhirin. Defenisi ini sangat umum dan mencakup semua kalimat yang dipakaikan untuk hak, karena hak juga dipakaikan untuk harta milik.[5]
Menurut musthafa Zarka, mendefenisikannya sebagai :
إختصاص يقرر به الشرع سلطة او تكليفا
Suatu kekhususan yang  dengannya ditetapkan syara’ menetapkan kekuasaan dan kewajiban.[6]
Dan memurut defenisi lain adalah :
السلطة على الشئ او ما يجب علي شخص لغيره
Kewenangan menguasai sesuatu atau sesuatu yang wajib atas seseorang terhadap orang lain.
Shultah atau hak kekuasaan pada defenisi ini meliputi Shultah ala nafsi (kekuasaan terhadap jiwa atau diri) seperti hak hadhanah, dan Shultah ala syaiin mu’ayyanin (kekuasaan terhadap benda) seperti hak milkiyah. Sedangkantaklif pada defenisi ini  meliputi iltizam ala insan (tanggung jawab atas seseorang) seperti kewajiban buruh melaksanakan tugasnya, dan iltizam ala mal ( tanggung jawab tehadap harta) seperti kewajiban melunasi utang.
Defenisi hak secara umum meliputi hak-hak keagamaan, seperti  hak Allah terhadap hambanya berupa shalat, puasa, dan sebagainya, hak-hak keduniawianseperti hak kepemilikan , hak-hak adabiyah seperti hak taat seorang anak terhadap orang tua, serta hak kebendaan seperti hak nafkah. Maka yang dimaksud dengan hak dalam pembahasan ini adalah kekuasaan seseorang untuk menguasai sesuatu berupa benda, atau dengan istilah lain kaedah yang mengatur tentangorang dan benda yang harus ditaati orang lain.[7]
B.     Asal Usul Hak
Para ulama sepakat bahwa sumber hak adalah syara’, dan karena syarak pula menusia mempunyai hak, Seperti perintah untuk ibadah. Disamping itu hak juga  muncul karena ada sebab yang melatar belakanginya, seperti menculnya hak timbal balik antara suami dan istri dikarenakan adanya  perkawinan.[8]
Para ulama Fiqh menetapkan bahwa  yang dimaksudkan dengan sebab atau penyebab disini adalah sebab-sebab langsung yang datangnya dari syara’  atau sebab-sebab yang diakui oleh syara’. Atas dasar itu, sumber hak menurut para ulama Fiqh ada lima, yaitu:[9]

1.      Syara’, seperti berbagai ibadah yang dpipeerintahkan
2.      Akad, seperti akad jual beli, hibah, dan wakaf.
3.      Kehendak pribadi, seperti nazar dan janji
4.      Perbuatan yang bermanfaat, seperti melunasi hutang
5.  Perbuatan yang menimbulkan kemudharatan orang lain, seperti mewajibkan orang membayar ganti rugi akubat kelalaiannya dalam menggunakan milik seseorang.


C.     Macam-Macam Hak
Para ulama Fiqh mengemukakan pembagian hak dari berbagai segi, yaitu :
1.      Dari segi pemilik hak
Dari segi ini terbagi kepada tiga macam, yaitu :
a.       Hak Allah
Yaitu seluruh bentuk yang mendekatkandiri kepada Allah, mengagungkannya,dan menyebar luaskan syi’ar-syi’ar agama-Nya, seperti :[10]
·         Ibadah, diantaranya adalah shalat, puasa, dan lain sebagainya.
·         Hukum-hukum hudud seperti had zina, had qadzaf.
Hak-hak Allah ini tidak boleh dikaitkan dengan hak-hak pribadi. Hak-hak Allah ini, disebut juga dengan hak masyarakat. Seluruh bentuk hak Allah ini tidak boleh digugurkan, baik melalui perdamaian maupun dengan memaafkannya dan tifak boleh diubah.  Seperti apabila suatu kasus pencurian telah sampai ke tangan hakim, maka tidak boleh dimaafkan ataupun digugurkan, bahkan tidak boleh diubah hukumannya. Ulama Fiqh juga berpendapat bahwa hak-hak Allah ini tidak boleh diwariskan kepada ahli waris.[11]
b.      Hak Manusia
Yaitu hak yang bertujuan untuk memelihara kemaslahatan perorangan. Dalam hak-hak manusia, seseorang boleh memaafkan , menggugurkan, atau mengubahnya, serta dapat diwariskan kepada ahli waris. Seperti hak Qishas kepada ahli waris.[12]
                        Hak manusia dapat dibagi kepada :[13]
a)      Hak yang dapat digugurkan seperti hak qishas, hak khiyar, dan suf’ah.
b)      Hak yang tidak dapat digugurkan, dalam hal ini terbagi kepada :
·         Hak yang belum seperti pembeli menggugurkan hak khiyar  ru’yah sebelum melihat barang.
·         Hak yang sdimiliki seseorang secara pasti berdasarkan ketetapan syara’, seperti seorang bapak atau kakek mengugurkan haknya untuk menjadi wali anaknya yang masih kecil.
·         Hak apabila digugurkan akan berakibat pada berubahnya hukum syara’, seperti hak orang yang berwasiat untuk menarik kembali wasiatnya.
·         Hak yang berkaitan dengan hak orang lain seperti seorang ibu yang menggugurkan hak hadhanah atau hak mengasuh anaknya.
c)      Hak yang dapat diwariskan, seperti hak untuk menahan barang rungguhan sampai utang dilinasinya.
d)     Hak yang tidak dapat diwariskan, seperti hak ijarah.
c.       Hak Berserikat
Yaitu hak yang berkumpul dua hak didalamnya yaitu hak Allah dan hak manusia.[14] Akan tetapi ada kalanya hak Allah lebih domminan, seperti persoalan iddah talak. Karena dalam masalah iddah terdapat dua hak, yaitu hak Allah berupa pemeliharaan terhadap nasab janin dari ayahnya agar tidak bercampur dengan nasab suami kedua, dan hak manusia yaitu pemeliharaan terhadap nasab anaknya. Dan adakalanya hak manusia yang lebih mendominasi, seperti hak qishas. karena dalam kasus qishas juga terdapat du hak, yaitu hak allah sebagai tindakan preventif bagi masyarakat bagi masyarakat dalam tindak pidana pembunuhan, dan hak manusia yaitu sebagai pengobat kemarahannya dan sebagai pengobat jiwanya dengan membunuh pelaku pembunuhan, dalam qishas ini lebih mendominasi hak manusia oleh karena itu mereka bisa menggugurkannya, atau mengubah hukumannya.[15]

2.      Dipandang dari segi objek hak, terbagi kepada :
a.       Haq al-maliyah dan haq ghairu al-maliyah, yaitu :[16]
a)      Hak kenbendaan yaitu hak yang berkaitan dengan benda dan manfaatnya, seperti hak penjual terhadap uang dan hak pembeli terhadap barang.
b)      Hak yang bukan kebendaan yaitu hak-hak yang tidak terkait dengan kebendaan, seperti hak qishas.

b.      Haq sykhsi dan haq ‘aini, yaitu :[17]
a)      Haq syakhsi adalah hak yang ditetapkan syara’ kepada seseorang berupa tanggung jawab terhadap orang lain, seperti tanggung jawab penjual untuk menyerahkan barang kepada pembeli.
b)      Haq ‘aini yaitu hak seseorang yang ditetapkan syara; terhadap zatnya sekaligus, sehingga ia memiliki hak penuh untuk mempergunakan dan mengembangkan haknya itu, seperti hak untuk memiliki suatu benda.
Berkaitan dengan hak syakhsi dan hak ‘aini, para ulama Fiqh mengemukakan beberapa keistimewaan masing-masing, diantaranya:[18]
·         Haq ‘aini bersifat permanen dan mengikut bagi pemiliknya, sekalipun benda itu berada ditangan orang lain. Seperti harta yang dicuri.
Hak syakhsi hak yang terkait dengan tanggung jawab, seperti tanggung jawab terhadap utang.[19]
·         Haq ‘aini gugur dengan hancur atau binasanya materi, akad-akad yang terkait dengan hak ainipun batal dengan sendirinya. Seperti barang yang dijual hancur ditangan sipenjual sebelum serah terima.
Haq syakhsi tidak akan gugur dengan hancur atau binasanya materi. Seperti barang yang dihutang habis atau hancur.[20]
Haq ‘aini terbagi kepada :[21]
o   Haq malikiyah, yaitu hak yang memberikan kepada pemiliknya hak wilayah(kewenangan).
o   Haq intifa’ yaitu hak memiliki manfaat sesuatu.
o   Haq irtifaq yaitu hak yang ditetapkan untuk memanfaatkan sebidang tanah.
o   Haq irtihan yaitu hak yang diperoleh dari harta yang digadai.
o   Haq ihtibas yaitu hak menahan suatu benda.
o   Haq qarar yaitu hak menetap ditanah wakaf.
Berdasarkan enam macam haq aini diatas, pada dasarnya hak aini dapat dibedakan menjadi dua, yaitu :
1.      Hak asli yaitu hak yang berdiri sendiri, seperti hak milkiyah, hak irtifaq yang berwujud dengan adanya pemilik hak terhadap benda.
2.      Haq thabi’i yaitu hak yang tidak berdiri sendiri.
c.       Haq Mujarrad Dan Haq Ghairu Mujarrad[22]
a)      Haq mujarrad adalah hak murni yang tidak meninggalkan bekas apabila apabila digugurkan melalui perdamaian atau pemaafan. Seperti dalam persoalan hutang,  apabila sipemberi hutang menggugurkan hutang itu, maka hal ini tidak memberikan bekas apapun kepada yang berhutang.
b)      Haq ghairu mujarrad adalah suatu hak yang apabila digugurkan atau dimaafkan meninggalkan bekas terhadap orang yang dimaafkan. Seperti hukum qishas, apabila ahli waris terbunuh memaafkan pembunuh, maka pembunuh tidak berhak lagi dibunuh, akan tetapi dia wajib membayar diyat.
3.      Dari Segi Kewenangan Pengadilan Terhadap Hak Itu
Dari segi ini ulama Fiqh membaginya kepada dua macam, yaitu haq diyani dan haq qadha’i.
a.       Haq diyani adalah hak yang tidak boleh dicampuri oleh kekuasaan pengadilan. Seperti persoalan utang yang tidak boleh dibuktikan pemberi utang karena tidak cukupnya bukti dipengadilan.
b.      Haq qadha’i adalah seluruh hak yang tunduk dibawah kekuasaan pengadilan, dan pemilik hak mampu unyuk menuntut dan membuktikan haknya itu didepan pengadilan.
D.    Berpindah Dan Berakhirnya Hak
1.      Berpindahnya Hak
Sebagai pemilik hak, menurut para ulama Fiqh, seseorang boleh memindahkan haknya kepada orang lain sesuai dengan cara-cara yang disyari’atkan oleh Islam, baik itu menyangkut hak kehartabendaan maupun yang bukan bersifat kehartabendaan.[23]
Sebab-sebab berpindahnya suatu hak dalam syari’at dapat disebabkan oleh hal-hal berikut ini :[24]
a.       Akad. Seperti jual beli, maka akan berakhir dan pindah secara timbal balik dari penjual kepada pembeli.
b.      Wafat. Hak seseorang terhadap harta bendanya akan berakhir dengan kematiannya dan akan pindah kepada ahli warisnya.
c.       Hiwalah. Tanggung jawab seseorang yang berutang berpindah dari tanggungan orang yang berutang kepada orang yang berpiutang menjadi tanggung jawab orang yang menanggung.
2.      Berakhirnya Hak
Para ulama Fiqh menyatakan bahwa suatu hak akan berakhir sesuai dengan sesuatu yang ditetapkan syara’,dan hal ini boleh berbeda pada setiap jenis hak yang dimiliki seseorang.[25]
Sebab-sebab berakhirnya suatu hak dalam syari’at dapat disebabkan oleh faktor-faktor dibawah ini :[26]
a.       Hak anak berupa nafkah dari bapaknya akan berakhir karena kemampuan anak untuk berusaha.
b.      Hak manfaat berakhir karena batal atau habis waktunya. Seperti hak sewa akan berakhir dengan hancurnya rumah sewaan atau habis waktu akad.
c.       Hak utang-piutang berakhir karena pelunasan utang atau pemaafan.

E.     Hak Ibtikar Dan Permasalahannya
1.      Pengertian Hak Ibtikar
Secara etimologi Ibtikar berarti awal sesuatu atau permulaannya. Ibtikar dalam Fiqh Islam dimaksudkan adalah hak cipta atau kreasi yang dihasilkan seseorang untuk pertama kali. Dalam ilmu pengetahuan hak ibtikar disebut dengan hak cipta.[27]
Menurut Dr. Fathi Ad-Duraini ibtikar adalah : “Gambaran pemikiran yang dihasilkan seorang ilmuan melalui kemampuan pemikiran dan analisisnya dan hasilnya merupakan penemuan atau kreasi pertama, yang belum dikemukakan ilmuan sebelumnya”. Akan tetapi Ibtikar ini bukan berarti suatu yang baru sama sekali, tetapi juga bisa berbentuk suatu penemuan sebagai perpanjangan dari teori ilmuan sebelumnya, termasuk didalamnya terjemahan hasil pemikiran orang lain kedalam bahasa asing.[28]

2.      Sifat Ibtikar Dari Segi Fiqh
Ibtikar hanyalah merupakan suatu gambaran pemikiran dan gambaran ini akan berpengaruh luas apabila telah dipaparkan atau dituliskan diatas suatu media.
Akan tetapi para ulama Fiqh membedakan antara hasil pemikiran seseorang dengan hasil atau manfaat suatu benda dari dua sisi :
a.       Dari sisi jenisnya, manfaat suatu benda baik bergerak maupun tidak bergerak, seperti manfaat rumah, lahan, dan kendaraan. Sedangkan sumber dari pemikiran sebagai ciptaan atau kreai seseorang bersumber dari akal seorang manusia yang hidup dan mengerahkan kemampuan berpikirnya.
b.      Dari sisi pengaruhnya,  manfaat dari benda-benda material merupakan tujuan utama dari suatu benda, dan hal inilah yang dijadikan tolak ujur dari suatu benda.  Akan tetapi pengaruh ari suatu pemikiran lebih besar dibandingkan dengan manfaat suatu benda,karena fikiran yang dituangkan dalam sebuah buku akan membawa pengauh besar terhadap kehidupan manusia dan menunjukkan jalan bagi umat manusia untu menggali SDA untuk menunjang kehidupan manusia.[29]
Apabila Ibtikar dikaitkan dengan pengertia harta dalam islam, ulama Syaf’iyah, Malikiyah, dan Hanabilah menyakan bahwa hasil pemikiran atau kreasi merupakan harta, karena harta tidak hanya bersifat maeri, tetapi juga manfaat. Oleh sebab itu menurut mereka pemikiran, hak cipta atau kreasi yang sumbernya pemikiran manusia bernilai harta.
3.      Dasar Hukum Hak Ibtikar
Para ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa landasan hak cipta atau kreasi dalam fiqh islam adalah ‘Urf dan Maslahah al-mursalah. ‘Urf dan Maslahah al-mursalah dapat dijadikan dasar dalam menetapkan hukum dalam fiqh islam selama tidak bertentangan dengan al-Quran dan Hadist, dan hukum yang  ditetapkan itu berupa pesoalan-persoalan duniawiyah.

4.      Hak Kepemilikan Dalam Ibtikar
Para ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa kepemilikan mubtakir terhadap hasil pemikiran dan ciptaannya adalah hak yang bersifat material. Akan tetapi imam Al-Qarafi berpendapat bahwa sekalipun hak Ibtikar merupakan hak bagi pemikirnya, tetapi hak ini tidak bersifat harta, bahkan tidak terkait sama sekali dengan harta. Hal ini disebabkan karena hak ini bersumber dari akal, dan hasil akal yang berbentuk pemikiran tidak bersifat maerial yang boleh diwariskan, diwasiatkan, dan ditransaksikan.[30]

5.      Hak Pengarang Terhadap Penerbit
Jumhur ulama Fiqh menyatakan bahwa hak Ibtikar itu baru bernilai harta setelah dituangkan kedalam suatu media, seperti buku dan disebar luaskan. Ada beberapa hukum yang terkait antara pengarang dengan penerbit, dan hukum-hukum itu adalah :[31]
a.       Pemikir berhak mengetahui seberapa banyak bukunya itu diterbitkan, sekalipun ada kesepakatan antara pengarang dan penerbit yang menyatakan bahwa hasil kreasinya itu dibeli sepenuhnya oleh penerbit.
b.      Apabila hasil pemikiran itu telah dibukuka, maka orang lain yang membaca buku itu berhak untuk mengutip beberapa pemikiran yang ada dalam buku itu.
c.       Pihak pengarang berhak mendapatkan imbalan material yang seimbang dengan jumlah buku yang dicetak,apabila perjanjian pengarang dengan penerbit bersifat royalti.
d.      Perlu ada kesepakatan antara pengarang dengan penerbit tentang lamanya hak royalti yang harus diterima pengarang ataupun ahli warisnya apabila pengarang nantinya wafat.
e.       Apabila pencetakan buku itu dilakukan sendiri dan atas biaya sendiri oleh pengarang, maka pihak penerbit hanya boleh mencetak dan menerbitkan buku itu esuai dengan kesepakatan pengarang dan penerbit.

6.      Campur tangan pemerintah dalan hak ibtikar
Menurut para ulama Fiqh kontemporer  menyatakan bahwa mengenai soal hak cipta ini landasannya adalah ‘urf dan Maslahah al-marsalah, maka pemerintah boleh dan bahkan dihaaruskan mengatur permasalahan ini dalam undang-undang . peranan penting pemerintah ini  adalah dalam menentukan segala persyaratan, bentuk perjanjian, dan jangka waktu berlakunya perjanjian.[32]
Menurut Pasal 3 UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak cipta tersebut, hal yang essensial dalam undang-undang ini adalah bahwa “Hak cipta dapat beralih atau dialihkan, baik seluruhnya maupun sebagian”, antara lain karena pewarisan, hibah, atau perjanjian tertulis. Salah satu makna penting dari ketentuan ini adalah kedudukan hak cipta yang dianggap sebagai benda bergerak. Sebagai benda bergerak yang dapat dialihkan, maka sifat hak cipta yang dapat dialihkan ini menjadi sangat relevan dalam transaksi bisnis sehari-hari. Itulah sebabnya, UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak cipta menggunakan istilah “pemegang hak cipta” yang berdampingan dengan istilah pencipta. Begitu juga mengenai dapat diwariskannya hak cipta.[33]


[1] Nasrun Haroen,Fiqh Muamalah,(Jakarta:Gaya Media Pratama, 2007), hal. 1
[2] Rozalinda,Fiqh Muamalah Dan Aplikasinya Pada Perbankan Syariah,(Padang:Hayfa Press,2005), hal.9
[3] Nasrun Haroen,op.cit,hal. 2
[5] Rozalinda,op.cit,hal. 10
[6] Nasrun Haroen,op.cit,hal. 2
[7] Rozalinda,op.cit,hal. 10
[8] Ibid,hal. 11
[9] Nasrun Haroen,op.cit,hal 8
[10] Rozalinda,op.cit,hal. 12
[11] Nasru Haroen,op.cit,hal 3
[12] Ibid,hal 3
[13] Rozalinda,op.cit,hal. 12
[14] Ibid,hal. 13
[15] Nasru Haroen,op.cit,hal. 4
[16] Rozalinda,op.cit,hal. 13
[17] Ibid,hal. 14
[18] Nasrun Haroen,op.cit,hal. 6
[19] Rozalinda,op.cit,hal. 14
[20] Ibid,hal. 15
[21] Ibid,hal. 15-16
[22] Nasrun Haroen,op.cit,hal. 7
[23] Ibid,hal. 15
[24] Rozalinda,op.cit,hal. 19
[25] Nasrun Haroen,op.cit,hal 15
[26] Rozalinda,op.cit,hal. 19-20          
[27] Nasrun Haroen,op.cit,hal. 38
[28] Ibid,hal. 39
[29] Ibid,hal. 40
[30] Ibid,hal. 41
[31] Ibid,hal. 42-45
[32] Ibid,hal. 45

Tidak ada komentar:

Posting Komentar