Selasa, 23 September 2014

moral dan tindakan ekonomi



KATA PENGANTAR
Puji syukur kita ucapkan kehadirat  Allah SWT, karena berkat rahmat dan karunia-Nya lah makalah ini dapat kami selesaikan. Shalawat dan salam tertuju buat Rasullullah SAW, yang telah sukses mengembangkan agama Islam dalam kehidupan manusia.
Terima kasih kepada dosen yang mengajar mata kuliah Sosiologi ekonomi yang telah membimbing kami dalam pembuatan makalah ini yang membahas tentang Moral Ekonomi Dan Tindakan Ekonomi. Makalah ini berasal dari tugas Sosiologi Ekonomi dari jurusan Ekonomi Islam di Fakultas Syari’ah, IAIN Imam Bonjol Padang. Dengan tujuan dapat menjadi pedoman bagi mahasiswa dalam menjalankan diskusi.
                                                                                          Padang, 21 April 2014


                                                                                                    Penyusun
                                                                                                   Novia Sari






  
BAB I
PENDAHULUAN
A.     LATAR BELAKANG
Moral ekonomi merupakan suatu trending tipic yang diperbincangkan ditengah-tengah kalangan masyarakat Internasional beriringan dengan derasnya arus globalisasi yang melanda dunia saat ini.
Dalam kajian sosiologi, Moral Ekonomi adalah suatu analisa tentang apa yang menyebabkan seseorang berperilaku, bertindak dan beraktivitas dalam kegiatan perekonomian. Hal ini dinyatakan sebagai gejala sosial yang berkemungkinan besar sangat berpengaruh terhadap tatanan kehidupan sosial.[1]
Moral ekonomi merupakan suatu proses pertukaran ekonomi dari produsen kepada konsumen melalui tindakan yang sentimen dan melalui norma-norma yang mengatur tentang moral dalam melakukan suatu kegiatan ekonomi, diamana pada saat ini norma-norma tersebut sudak banyak terlupakan dalam melakukan kegiatan ekonomi.
Hal ini juga selaras dengan pendapat yang dikemukakan oleh Sayer dalam Adams dan Raisborough (1998) yaitu moral ekonomi merupakan pertukaran ekonomi melalui sentimen-sentimen dan norma-norma moral.[2]
Ada dua faktor yang mendasari kenapa moral ekonomi sampai menjadi trending topic ditengah-tengah masyarakat Internasional, yaitu :
1.      Berkaitan dengan semakin merabaknya praktek fair trade[3] yang menuntut komitmen yang tinggi antara produsen dan konsumen.
2.      Adanya rutinitas harian masyarakat yang tidak pernah terlepas dari kegiatan bisnnis yang memberi jarak moralitas dalam melakukan kegiatan ekonomi.
Moral ekonomi itu sendiri dihadapi oleh dua komunitas yang berbeda, yaitu komunitas petani dan komunitas pedagang.
Dalam makalah ini akan dibahas dua tulisan yang sama yaitu tentang moral ekonomi, akan tetapi dalam konteks yang berbeda, yaitu : pertama, moral ekonomi petani yang ditulis oleh James C Scott, dan kedua, moral ekonomi pedagang yang ditulis oleh Hans Dieter Evers.

B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Bagaimana teori moral ekonomi menurut James C Scott jika diterapkan kepada petani?
2.      Bagaimana teori moral ekonomi menurut Hans Dieter Evers jika diterapkan kepada pedagang?
3.      Apa perbedaan antara moral ekonomi petani menurut James C Scott dengan moral ekonomi pedagang menurut Hans Dieter Evers?
C.      MAKSUD DAN TUJUAN
Melihat tatanan sosial dan ekonomi petani setelah diterapkannya teori moral ekonomi menurut James C Scott dan Hans Dieter Evers, dan perbedaan antara teori moral ekonomi James C Scott dengan Hans Dieter Evers.
D.     MANFAAT
Manfaatnya adalah menyeimbangkan tatanan sosial dan ekonomi masyarakat petani dan pedagang dengan teori moral ekonomi yang memiliki nilai-nilai etika dan konsep ekonomi sama rasa-sama rata atau Communis (berbagi)
BAB II
PEMBAHASAN

A.     Moral Ekonomi Petani
Dalam bukunya moral Economy Of Peasant : Rebelliaon And Sebsistence In Southest Asia”, James C Scott mendefenisikan moral ekonomi sebagai pengertian petani tentang keadaan ekonomi dan defenisi kerja mereka tentang eksploitasi – pandangan mereka tentang pungutan-pungutan hasil produksi mereka tentang mana yang dapat ditoleransi dan mana yang tidak dapat. Setiap petani akan memperhatikan etika-etika susistensi[4] dan norma-norma resiprositas[5] yang berlaku dalam masyarakat mereka.[6]
Hal ini disebabkan karena tenaga kerja merupakan satu-satunya faktor produksi yang dimiliki oleh petani yang relatif melimpah. Oleh karena itu mereka tepaksa melakukan kegiatan-kegiatan yang relatif berat dengan yang kecil demi memenuhi kebutuhan mereka. Seperti seorang pekerja yang memindahkan bibit padi dari tempat penyemaian ke sawah dengan upah yang relatif murah. Keharusan untuk memenuhi kebutuhan subsistensi keluarga, membuat mereka rela melakukan apapun, bukan hanya dengan cara melakukan hal-hal yang berat dengan upah yang realtif kecil, tetapi juga dengan cara menjual hasil pertanian dengan harga yang sangat murah asalkan laku.
Sebagaimana pendapat Tweyney yang dikutip oleh James C Scott “Ada daerah-daerah dimana posisi penduduk pedesaan ibarat orang yang selamanya berdiri dalam air sampai keleher, sehingga ombak yang sekecil apapun sudah cukup untuk menenggelamkannya”.[7]
Para petani cenderung mau membayar lebih jika hendak menyewa tanah. Hal seperti ini berlaku bagi petani yang mempunyai keluarga besar akan tetapi memiliki lahan sempit atau kekurangan tanah, demi memenuhi kebutuhannya para petani tersebut mau membayar lebih atau  “hunger rents” selama tanah tersebut mampu menambah isi periuk mereka.

1.      Etika Subsistensi
Berdasarkan pandangan Scott, etika subsitensi itu berawal dari kecemasan akan terjadinya kekurangan sebuah subsistensi. Petani-petani yang berada dalam suatu kehidupan yang subsistem, yaitu kehidupan yang berada dibatas minimal kebutuhan dasar dari satu musim panen ke musim panen berukutnya. Sementara itu, dalam masyrakat berkembang hal seperti ini disebut dengan moral subsistensi, yaitu adanya suatu jaminan sosial terhadap petani-petani kecil.[8] Seperti seorang petani yang sedang berada dalam masa-masa sulit (paceklik), maka para Patron[9] wajib memberikan pertolongan terhadap petani yang sedang mengalami kesulitan tersebut, sedangkan petani kelas kecil (klien)[10] mempunyai kewajiban untuk menolong Patron disaat ia sedang membutuhkan pertolongan.
a.       Ikatan Patron Klien
Hubungan patron klien -- sebuah pertukaran hubungan antara kedua peran -- dapat dinyatakan sebagai kasus khusus dari ikatan diadik (dua orang) yang terutama melibatkan persahabatan instrumental, dimana seorang individu dengan status sosio-ekonomi yang lebih tinggi (patron) menggunakan pengaruh dan suberdayanya untuk menyediakan perlindungan atau keunttungan-keuntungan bagi seseorang dengan status yang lebih rendah (klien).[11]
Menurut James Scoot ciri-ciri ikatan Patron Klien adalah :[12]
·         Terdapat ketidaksamaan dalam pertukaran (inequality of exchange) yang menggambarkan perbedaan dalam kekuasaaan, kekayaan dan kedudukan.
·         Adanya sifat tatap muka (face to face character), dimana hubungan ini bersifat instrumental yakni, kedua belah pihak saling memperhitungkan untung-rugi, meskipun demikian masih terdapat unsur rasa yang tetap berpengaruh karena adanya kedekatan hubungan.
·         Ikatan ini bersifat luwes dan meluas (difuse flexibility), sifat meluas terlihat pada tidak terbatasnya hubungan pada kegiatan kerja saja, melainkan juga hubungan tetangga, kedekatan secara turun-menurun ataupun persahabatan dimasa lalu, selain itu terdapat pertukaran bantuan tenaga (jasa), dan dukungan kekuatan selain jenis-jenis pertukaran uang dan barang.
Ikatan antara Patron dan Klien, merupakan suatu bentuk asuransi sosial yang terdapat dimana-mana dikalangan petani Asia Tenggara. Seorang patron harus membantu klien-kliennya yang berada dalam posisi sulit. Meskipun klien-klien tersebut seringkali berusaha sebisa-bisanya untuk memberikan arti moral kepada hubungan patronase itu ada segi baiknya, bukan karena dapat diandalkan melainkan mengingat sumberdayanya.[13]

b.      Arus Patron Ke Klien[14]
Penghidupan subsistensi dasar. Pada banyak daerah agraria[15], jasa utama dapat berupa pemberian pekerjaan tetap atau tanah untuk bercocok tanam dan bisa juga mencakup penyediaan benih, peralatan, jasa pemasaran, nasihat tekhnis, dan seterusnya.
Jaminan krisis subsistensi. Patron diharapkan memberikan pinjaaman pada saat bencana ekonomi, membantu menghadapi keadaan sakit atau kecelakaan, atau membantu pada pada waktu panen gagal.
Perlindungan. Perlindungan bisa berarti memelihara sekelompok orang bersenjata atau janji untuk membalaskan dendam untuk klien.
Makelar[16] dan pengaruh. Jika patron melindungi kliennya dari perusakan yang berasal dari luar, ia juga menggunakan, kekuatan dan pengaruhnya untuk menarik hadiah dari luar bagi kepentingan kliennya.
Jasa patron kolektif[17]. Secara internal, patron sebagai kelompok dapat melakukan fungsi ekonomi secara kolektif.

c.       Arus Klien Ke Patron
Arus barang dan jasa dari klien ke patron amat sukar untuk digolongkan karena, sebagai “orang” patronnya, seorang kliennya umumnya menyediakan tenaga dan keahliannya untuk kepentingan patron, apapun bentuknya.

2.      Dahulukan Selamat
Dikarenakan begitu banyak dari keluarga petani rumah tangga yang hidup begitu dekat dengan garis-garis batas subsistensi dan menjadi sasaran bagi permainan alam serta menjadi tuntutan-tuntutan dari pihak luar, jadi mereka lebih memilih untuk meletakkan etika subistensi atas prinsip safety first (dahulukan keselamatan). Ini dapat diartikan sebagai apabila dicapainya suatu tingkat krisis subsistensi, tentu ini tidak berarti bahwa keluarga-keluarga petani yang hasil panennya berada dibawah itu akan langsung  mati kelaparan.[18] tingkat krisis suatu subsistensi merupakan batas dimana kemerosotan kualitatif dalam hal subsistensi, keamanan, status, dan kohesi sosial terasa sangat berat dan menyakitkan. Hal ini dilatarbelakangi oleh prinsip dahulukan selamat yang dipakai oleh petani. Contohnya saja petani akan lebih memilih untuk menekan resiko kegagalan dengan cara membeli bibit unggul dengan tingkat harga yang relatif tinggi dan hasil yang sedikit, ketimbang mengambil resiko dengan cara membeli bibit yang komersial untuk mendapatkan keuntungan yang tinggi.
Suatu asumsi yang kritis dari prinsip dahulukan selamat adalah bahwa pekerjaan rutin subsistensi memberikan hasil yang memuaskan. Ini dikarenakan para petani lebih memilih untuk meneruskan rutinitas mereka, dan bagaimanapun itu tetaplah sebuah resiko.  Para petani yang sedang mengalami desintegrasi[19] seperti kekurangan lahan atau sewa yang meningkat, mereka akan lebih memilih untuk berpindah profesi menjadi petani komersil dengan mengambil resiko yang besar.

Berlandaskan prinsip etika subsistensi bahwa subsistensi setiap keluarga petani dijamin selama persediaan sumber daya yang masih ada didesa memungkinkannya. Ini berarti setiap warga desa harus siap dengan resiko krisis subsistensi yang akan dihadapi jika persediaan sumber daya itu habis. Jika hal ini terjadi, keluarga petani yang taraf perekonomiannya lebih baik mempunyai kewajiban untuk menyumbangkan dana bagi keluarga petani yang ditimpa kemalangan. Dan resikonya adalah warga yang  taraf perekonomiannya lebih baik itu akan mendapatkan gengsi yang lebih tinggi dibandingkan warga lainnya, sehingga ia akan dikelilingi oleh klien yang akan memenuhi setiap perintahnya. Begitu juga sebaliknya, apbila keluarga petani yanng taraf perekonomiannya lebih baik itu tidak mau membantu keluarga petani yang sedang dihadapkan dengan masa-masa sulit, maka ia akan dianggap sombong dan tidak memiliki gengsi dimasyarakat.
Kesulitan yang dialami oleh petani ini juga memiliki sangkut paut dengan perekonomian dunia yang mempersulit keterjaminan subsistensi petani. Penyebabnya adalah oleh pertumbuhan negara-negara kolonial dan negara-negara komersial yang telah membawa petani kedalam perekonomian dunia yang menindas kaum petani. Adapun faktor-faktor yang menyebabkan hal ini terjadi adalah :[20]
1.      Ketidakstabilan Yang Berasal Dari Pasar
Ekonomi pasar yang diperkenalkan kepada petani tidak hanya pasar lokal, tetapi juga pasar-pasar dunia. Yang mana pada pada pasar dunia hubungan antara hasil panen dengan harga terputus. Dengan demikian bisa saja hasil panen yang kecil mendapatkan harga yang tinggi dipasar, begitupun sebaliknya.
2.      Perlindungan Desa Yang Lemah
Terjadi erosi dalam pemberian perlindungan dan pemikul resiko oleh kerabat dan pada nilai desa. Penyebabnya adalah terjadinya perubahan struktural dalam masyarakat.


3.      Hilangnya Sumber-Sumber Daya Subsistensi Sekunder
Tempat-tempat yang biasanya dijadikan oleh petani sebagai sumber daya subsisstensi sekunder, kini telah menjadi milik komersial, dan siapa saja yanng ingin memanfaatkannya diwajibkan membayar pajak.
4.      Buruknya Hubungan Kelas Agraris
Hal ini desebabkan denga berpindah nya peranan tuan tanah dari pelindung menjadi Impersonal dan kontraktual. Tuan tanah tidak lagi berperan sebagai pemikul resiko dimasa sulit, akan tetapi ia berubah menjadi tukang pungut uang sewa baik pada masa sulit maupun pada masa lapang.
5.      Negara Kolonial Yang Semakin Ekspresif Dan Intensif Dalam Memungut Pajak.
Pada masa pemerintahak pra-kolonial, yang dipungut bukan hanya pajak kepala[21] dan pajak tanah, tetapi juga ditambah dengan pajak yang berkaitan dengan subsistensi. Seperti pajak perahu, garam, dan lain sebagainya.

B.     MORAL EKONOMI PEDAGANG
Hans Dieter Evers sepakat dengan James C Scott mengenai masyarakat petani umumnya dicirikan dengan tingkat solidaritas dengan suatu sistem nilai yang menekankan tolong menolong, kepemilikan bersama sumber daya yang ada dan keamanan subsistensi.[22] Hal ini dapat dilihat dari status pemanfaatan bersama sumber daya yang ada, dan menanggung resiko bersama jika krisis melanda keluarga petani tersebut. Dalam keadaan sulit misalnya, maka petani yang bernasib kurang baik akan  menjadi tanggung jawab orang yang berpunya.
Kondisi seperti yang terjadi diatas telah mebuat para pedagang dilema untuk memilih antara mengakumulasikan modal kepada tetangga ataukah mengakumulasikannya dalam bentuk barang atau uang. Sebagaimana yang telah diungkapkan oleh Evers :
“Para pedagang dalam masyarakat petani dihadapkan dengan sejumlah masalah pokok. Pedagang mungkin harus membeli komoditas petani-petani yang masuk anggota dari komunitas mereka sendiri, tetapi menjual komoditas tersebut kepada pihak-pihak lain dari luar desa mereka. Didesa mereka sendiri, harga-harga dipengaruhi –jika tak dapat dianggap ditentukan- oleh moral ekonomi terhadap harga-harga yang wajar; serta dipengaruhi juga oleh keunggulan nilai pakai daripada nilai tukar terhadap berbagai macam hasil panen subsistensi. Diluar desa para pedagang dihadapkan dengan tuntutan anonim yang sering bersikap anarkis dan berasal dari pasar terbuka dengan fluktuasi harga yang liar. Pedagang cenderung terperangkap ditengah dan dalam hal ini disebut tengkulak karena mereka tidak hanya menanggung resiko kerugian secara ekonomi tetapi juga resiko terhadap diskriminasi dan kemarahan petani mengingat bahwa para pedagang diharapkan membayar suatu harga wajar pada penghasil dari produk pertanian, maka mereka harus menjual dengan harga pasar setempat, harga pasar tingkat nasional, dan bahkan sampai harga pasat tingkat internasional. Tentu saja perbedaan harga juga akan mengubah keuntungan para pedagang, serta membuka kesempatan untuk memperoleh laba yang besar. Dalam hal ini mereka dianggap tidak mau mengalah pada moral ekonomi para petani serta mendistribusikan kembali keuntungan yang mereka peroleh kepada teman-teman, tetangga, dan pelanggan.”[23]
Hans Dieter Evers menggunakan pendekatan sosiologi ekonomi baru dalam membedah moral ekonomi pedagang. Ia melihat tindakan ekonomi merupakan proses interaksi yang berlangsung antara individu (pedagang) dan individu (petani sebagai pelanggan atau pedagang lain), antara individu (pedagang) dengan kelompok (kelompok pedagang) dan antara kelompok (kelompok pedagang) dengan kelompok (kelompok petani). Proses interaksi tersebut terjadi secara terus menerus dan terus diinterpretasikan sesuai dengan konteks dan sejarah dari proses tersebut.[24]
Hans Dieter Evers mengatakan bahwa para pedagang sering mengalami dilema antara apabila ia menjual barangnya dengan harga tinggi, maka dikhawatirkan kalau nanti tidak akan laku terjual, atau mengungdang pemikiran yang negatif ditengah-tengah masyarakat bahwa pedagang tersebut rakus dengan keinginan untuk meraup untung yang tinggi. Sedangkan apabila ia menjual barang dagangannya dengan harga murah dengan modal yang cukup tinggi, tentu saja ini akan mengakibatkan pedagang tersebut rugi, dan apabila pedagang bermurah hati untuk memberikan kredit kepada masyarakat dalam jangka waktu yang lama dengan cara memperpanjang waktu pembayaran, ini juga bisa mengakibatkan pedagang merugi atau bahkan bangkrut.
Hal seperti ini dapat kita cermati dalam contoh kasus seperti seorang yang mempunyai usaha warung harian disebuah desa, maka orang tersebut secara otomatis akan mengalami dilema tentang berapa harga yang harus ditetapkan. Jika ia menetapkan harga yang tinggi tetapi masih bisa dijangkau oleh perekonomian masyarakat, ia mengalami kekhawatiran jikalau nanti orang akan beranggapan bahwa ia ingin meraup keuntungan yang tinggi tanpa memperdulikan nasib rakyat disekitarnya, akan tetapi jika ia meletakkan harga yang rendah pada dagangannya dan juga memberikan kredit dengan jangka waktu yang panjang dikhawatirkan kalau nantinya ia akan gulung tikar.
Jika pedagang menghadapi hal seperti ini, maka pedagang harus berusaha mencari jalan keluarnya sendiri, seperti dengan cara merantau atau membuka usaha di daerah lain. Pedagang merupakan manusia yang kreatif dan dinamis, hal ini dapat dilihat dari keadaan dimana para pedagang tidak tertumpu kepada norma-norma yang ada didalam masyarakat, mereka bisa mnyelesaikan masalah pribadi mereka tanpa melanggar norma yang berlaku ditengah-tengah masyarakat.
Pada dasarnya setiap manusia yang melakukan kegiatan ekonomi akan mengalami hal yang sama dalam dilema yang menimpa mereka, baik itu berasal dari kalangan petani, pedagang, masyarakat yang tinggal di desa, maupun orang-orang yang tinggal diperkotaan. Apabila mereka dihadapkan dengan masalah yang bersangkut paut dengan subsistensi atau resiprositas, maka mereka pasti akan melakukan hal apapun demi memenuhi kebutuhan mereka tersebut, baik dengan cara mennjual, menggadai atau mungkin meminjam uang kepada orang lain. Mereka melakukan ini demi mengamankan posisi mereka dalam menghadapi persaingan yang ada.
Untuk menyikapi hal seperti diatas Evers telah menemukan lima cara yang bisa dilakukan oleh pedagang, yaitu :[25]
1.      Imigrasi Pedagang Minoritas
Sebuah kelompok minoritas baru dapat terbentuk melalui migrasi atau etnogenesis, yaitu munculnya identitas etnis baru. Seperti orang Batak yang beragama Kristen membuka usaha dagang secara “kredit” di tengah-tengah masyarakat Minangkabau ynag mayoritas beragama Islam. Sementara itu sudah menjadi rahasia umum bahwa masyarakat Minagkabau mempunyai jiwa wiraswasta yang tinggi dibandingkan dengan etnis-etnis lainnya.  Hal ini dapat dibuktikan dari berhasilnya masyarakat Minangkabau mendominasi perdagangan dibeberapa kota-kota besar di Indonesia, sebut saja salah satu contohnya adalah di Jakarta seperti di Blok A, Tanah Abang, dan lain-lain. Akan tetapi dikampung halaman mereka sendiri orang bataklah yang mendominasi perdagangan. Fonomena ini disebabkan karena tejadinya dilema antara mencari keuntungan untuk mengakumulasikan modal atau malah kewajiban moral yang harus dibayarkan kepada karib kerabat atau orang sekampung. Jadi, untuk menyikapi hal ini, lebih baik para pedagang tersebut pergi merantau dan melakukan kegiatan ekonomi disana.
2.      Pembentukan Kelompok-Kelompok Etnis Atau Religius
Munculnya dua komunitas moral yang menekankan pentingnya kerja sama tetapi tidak keluar dari batas-batas moral. Seperti pedagang kredit yang dibutuhkan oleh masyarakat Minagkabau untuk memenuhi kebutuhan sandang yang baru, sedangkan pedagang sendiri mendapatkan untung yang lebih besar karena harga barang yang dijual relatif lebih tinggi dibandingkan dengan harga dipasaran. Ini mengakibatkan adanya simbiosis mutualisme antara masyarakat Minagkabau dengan pedagang kredit yang berasal dari Batak.
3.      Akumulasi Status Kehormatan
Melalui peningkatan akumulasi modal budaya berarti adanya peningkatan derajat kepercayaan masyarakat untuk melakukan aktivitasnya. Seperti yang dikutip dari contoh yang diberikan oleh Geerzt tentang santri pada sektor perdagangan orang Jawa, kedermawanan, keterlibatan dalam urusan masyarakat, berziarah, menunaikan ibadah haji yang dilakukan oleh santri memberikan dampak positif kepada akumulasi modal budaya yang dimiliki. Dengan kata lain, peningkatan akumulasi modal budaya berarti peningkatan kepercayaan masyarakat, sehingga memudahkan pedagang untuk melakukan aktifitasnya.
4.      Munculnya Perdagangan Kecil Dengan Ciri Ada Uang “Ada Barang”.
Dengan mengambil fenomena pedagang bakul di Jawa, pedagang bakul akan bersikeras melakukan transaksi dengan cara “ada uang ada barang”, dan menghindari masalah hutang piutang dengan pelanggan. Menurut Evers perdagangan kecil yang dilakukan seperti itu merupakan ciri-ciri standar pada semua masyarakat petani. Dengan ciri-ciri yang dimiliki oleh  perdagangan kecil tersebut  memungkinkan untuk menghindari dilema yang biasanya dihadapai pedagang dalam masyarakat petani.
5.      Depersonalisasi (Ketidaklekatan) Hubungan-Hubungan Ekonomi
Jika ekonomi pasar berkembang dan hubungan-hubunngan ekonomi relatif tidak terlekat atau terdiferensiasi, maka dilema yang dihadapi pedagang ditransformasikan  kedalam dilema sosial semua pasar ekonomi kapitalis. Ini berarti suatu ekonomi modern memerlukan rasionalisasi hubungan-hubungan ekonomi dan keunggulan produktifitas di satu sisi,  keadilan dan retribusi di sisi lain juga dibutuhkan untuk mempertahankan legitimasi penguasa serta tatanan sosial dan politiknya. Ini bukan berarti dilema yang dihadapi pedagang hilang, tetapi nilainya turun dan ditransformasikan kedalam suatu figur sosial dan budaya baru.

C.      PERBEDAAN MORAL EKONOMI PETANI DENGAN MORAL EKONOMI PEDAGANG
Dari dua penelitian tentang moral ekonomi yang dilakukan dengan obyek yang berbeda yaitu moral ekonomi petani menurut James C Scott dan moral ekonomi pedagang menurut Hans Dieter Evers, memberikan kesimpulan bahwa reaksi petani dan pedagang dalam menerima moral ekonomi berbeda.
Pada kelompok masyarakat petani, tindakan ekonomi merupakan cerminan langsung dari moral ekonomi yang mereka terima. Sedangkan pada kelompok masyarakat pedagang ia merupakan kombinasi antara moral ekonomi dan kepentingan ekonomi.[26] Perbedaan ini muncul karena obyek yang diteliti berbeda, dan metode atau pendekatan yang digunakan tidak sama.
Perbedaan-perbedaan tersebut dapat dilihat dari berbagai sudut pandang, diantaranya :
1.      Hakikat Manusia
Dalam pandangan James C Scott, manusia merupakan makhluk yang terikat kepada norma-norma yang berlaku ditengah-tengah masyarakat, termasuk moral ekonomi. Manusia ibaratkan robot yang harus tunduk dan patuh terhadap norma-norma tersebut, dan setiap tindakan yang mereka lakukan harus merujuk kepada norma-norma yang terdapat dalam masyarakat tersebut.
Sementara dalam pandangan Hans Dieter Evers, manusia merupakan makhluk yang relatif kreatif. Memang terdapat norma-norma yang mengganjal para pedagang dalam mencapai kepentingan pribadi mereka, seperti norma adat, hukum dan lain sebagainya, namun mereka berusaha untuk mencari solusi antara kepentingan individu mereka dengan kepentingan masyarakat. Solusi tersebut ditemukan dengan cara berinteraksi antara individu dengan individu, individu dengan kelompok, dan kelompok dengan kelompok.
2.      Dimensi Moral
James C Scott memandang moral ekonomi dalam suatu kelompok masyarakat petani sebagai suatu yang statis. Hal ini dapat diidentifikasi dengan cara mempehatikan para pengemban moral, prilaku mereka haruslah sesuai dengan norma-norma moral yang berlaku. Jika suatu individu ada yang keluar dari kewajiban moral yang seharusnya ia emban, maka ia akan dikucilkan dari masyarakat, dan ia akan kehilanga reputasinya sebagai warga yang terhormat.
Sedangkan Hans Dieter Evers melihat kolompok masyarakat petani itu sebagai makhluk yang dinamis. Moral yang berkembang ditengah-tengah masyarakat merupakan suatu yang dipertentangkan oleh para pedagang dengan kepentingan pribadinya. Situasi ini mendatangkan dilema bagi para pedagang, namun situasi ini pula yang memberi solusi kepada para pedagang untuk menemukan moral baru.
3.      Tindakan Ekonomi
Menurut James C Scott, tindakan ekonomi merupakan refleksi langsung dari tindakan ekonomi, selama tidak keluar dari etika subsistensi.
Menurut Evers, tindakan ekonomi merupakan sintesis dari tindakan ekonomi yang ada, dan kepentingan ekonomi yang dimiliki yaitu akumulasi modal dalam bentuk barang dan uang.
4.      Pedekatan
Pendekatan yang digunakan Scott dalam membahas moral ekonomi petani adalah perspektif aktor lebih tersosialisasi.
Sedangkan Evers menggunakan pendekatan sosiologi ekonomi dalam membedah moral ekonomi pedagang. Mereka melihat tindakan ekonomi sebagai suatu proses interaksi antara individu pedagang dengan individu petani, dan individu pedagang dengan kelompok pedagang, dan kelompok pedagang dengan kelompok petani
















BAB III
PENUTUP
A.     KESIMPULAN
Dari penjabaran isi makalah diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa perbedaan yang mendasar antara moral ekonomi menurut James C Scott dengan Hans Dieter Evers adalah bahwa moral ekonomi petani menurut James C Scott lebih mengutamakan rasa solidaritas antar rumah tangga petani, dengan cara memanfaatkan sumber daya yang ada pada saat memungkinkan bersama-sama, dan pada saat sulit  patron akan menjamin kelangsungan hidup Kliennya.
Sementara moral ekonomi pedagang masih mengalami dilema dalam menentukan tindakan antara moral ekonomi dengan kepentingan pribadi. Dan Evers memberikan solusi untuk memecahkan dilema yang dihadapi oleh para pedagang dengan memberikan lima solusi, yaitu :
1.      Imigrasi pedagang minoritas
2.      Pembentukan kelompok-kelompok etnis atau religius
3.      Akumulasi status kehormatan
4.      Munculnya perdagangan kecil dengan ciri ada uang “Ada Barang”.
5.      Depersonalisasi (ketidaklekatan) hubungan-hubungan ekonomi
Ada 4 faktor perbedaan yang mendasar dari moral ekonomi petani dan moral ekonomi pedagang, yaitu :
1.      Hakikat manusia
Dalam pandangan James C Scott, manusia merupakan makhluk yang terikat kepada norma-norma yang berlaku ditengah-tengah masyarakat, termasuk moral ekonomi.
Dalam pandangan Hans Dieter Evers, manusia merupakan makhluk yang relatif kreatif.
2.      Dimensi moral
James C Scott memandang moral ekonomi dalam suatu kelompok masyarakat petani sebagai suatu yang statis.
Hans Dieter Evers melihat kolompok masyarakat petani itu sebagai makhluk yang dinamis.
3.      Tindakan ekonomi
Menurut James C Scott, tindakan ekonomi merupakan refleksi langsung dari tindakan ekonomi, selama tidak keluar dari etika subsistensi.
Menurut Evers, tindakan ekonomi merupakan sintesis dari tindakan ekonomi yang ada, dan kepentingan ekonomi yang dimiliki yaitu akumulasi modal dalam bentuk barang dan uang.
4.      Pedekatan
Pendekatan yang digunakan James C Scott dalam membahas moral ekonomi petani adalah perspektif aktor lebih tersosialisasi.
Hans Dieter Evers menggunakan pendekatan sosiologi ekonomi dalam membedah moral ekonomi pedagang.
B.     SARAN
Penulis menyadari akan banyaknya kekurangan dalam penulisan makalah ini, oleh karena itu penulis banyak berharap kepada para pembaca yang budiman agar sudi memberikan kritik dan saran yang membangun kepada penulis demi sempurnanya makalah ini dan dan penulisan makalah di kesempatan-kesempatan berikutnya. Semoga makalah ini berguna bagi penulis pada khususnya juga para pembaca yang budiman pada umumnya.


[1] Meri Susanti,dkk,Moral Ekonomi  Dan Tindakan Ekonomi,Diambil Dalam Makalah Moral Ekonomi Dan Tindakan Ekonomi,Padang : 2011,hal. 1
[2] Sindung Harianto,Sosiologi Ekonomi,Jogjakarta(Ar-Ruzz Media,2011), Hal. 80
[3] Fair Trade Merupakan Perdagangan Yang Berdasarkan Pada Dialog, Keterbukaan Dan Saling Menghormati Yang Bertujuan Untuk Mencapai Keadilan Serta Pembangunan Yang Berkesinambungan. Dikutip dari makalah (Http://Felixsharieff.Wordpress.Com/2009/12/15/Fair-Trade-Vs-Free-Trade/), Sabtu, 19 April 2014, pukul 20.58

[4]  Subsistensi adalah suatu kemandirian yang ditentuka bukan dengan mengacu pada sesuatu yang lain, tetapi pada dirinya sendiri. Honda Cb Modivikasi,Pengertian Dan Arti Susistensi,Dalam Makalah (http://hondacbmodifikasi.com/pengertian-arti-subsistensi/), Senin, 14 April 2014, Pukul 23.12

[5] Norma Resiprositas Merupakan Pertukaran Timbal Balik Antar Individu Atau Antar Kelompok Yanng Selalu Ada Dalam Setiap Masyarakat. FaiRyLanD TinY, Resprositas,Dalam makalah (http://tinykartini.blogspot.com/2012/12/resiprositas.html), Senin, 14 April 2014, pukul 22.52

[6] Damsar Dan Indrayani,Pengantar Sosiologi Ekonomi Edisi Kedua,Jakarta(Kencana Pernada Media Grup,2009),Hal. 229
[7] James C Scott,Moral Ekonomi Petani Pergolakan Dan Susistensi Di Asia Tenggara,Jakarta(LP3S,1981),Hal. 1
[8] Sindung Harianto,Op.Cit,Hal, 83-84
[9] Patron Merupakan Seseorang Yang Memiliki Kekuasan (Power), Status, Wewenang Ataupun Pengaruh Dalam Masyarakat. Dikutip dari (https://id.answers.yahoo.com/question/index?qid=20100918213020AAWD80B). Senin, 14 April 2014, pukul 22.30
[10] Klien Adalah Bawahan, Atau Orang Yang Dapat Disuruh-Suruh. Dikutip dari (https://id.answers.yahoo.com/question/index?qid=20100918213020AAWD80B). Senin, 14 April 2014, pukul 22.30
[11] James C Scott,Perlawanan Kaum Petani,Jakarta (Yayasan Obor Indonesia,1993),hal. 7
[12] Hurin Inns,Patron-Klien,Dalam Makalah (Http://Primsacc12.Blogspot.Com/2012/10/Patron-Klien.Html), Sabtu, 19 April 2014, Pukul 20.49
[13] James C Scott,op.cit,hal. 41
[14]  James C Scott,op.cit,hal. 9
[15] Agraria adalah urusan tanah dan segala yang ada di dalam dan di atasnya. Apa yang ada di dalam tanah. Muhammad Zarfan ‘Alim,Pengertian Agraria,Dalam makalah (http://zharfan29.blogspot.com/2011/07/pengertian-agraria.html), Senin, 21 April 2014, pukul, 14.47
[16]  Perantara perdagangan (antara pembeli dan penjual); orang yg menjualkan barang atau mencarikan pembeli; pialang, dikutip dari (http://artikata.com/arti-339408-makelar.html), senin, 21 April 2014, pukul 15.06
[17]  Perilaku kolektif adalah cara orang bertindak dalam kerumunan dan kelompok-kelompok besar yang tidak terorganisasi lainnya. Bangmu 2,pengertian perilaku kolektif,Dalam Makalah (http://www.bangmu2.com/2013/02/pengertian-perilaku-kolektif.html), Senin, 21 April 2014, Pukul 15.17
[18] James C Scott,Op.Cit,Hal, 25-26
[19] Desintegrasi merupakan keadaan tidak bersatu padu; keadaan terpecah belah; hilangnya keutuhan atau persatuan; perpecahan, dikutip dari (http://artikata.com/arti-325381-disintegrasi.html), Senin, 14 April 2014,Pukul 20.16
[20] Damsar,Sosioligi Ekonomi,Jakarta(PT Raja Grafindo Persada,2002),Hal. 71-72
[21] Pajak Kepala Merupakan Pajak Yang Dibebankan Kepada Setiap Individu
[22] Damsar,Op.Cit,Hal. 74
`               [23] Damsar Dan Indrayani,Op.Cit,Hal. 239
[25] Ibid,Hal. 239-242
[26] Damsar,op.cit,hal. 79-80

1 komentar:

  1. Best Casinos in San Diego - Mapyro
    Check 김해 출장안마 out the best casinos 김포 출장마사지 and restaurants in 사천 출장마사지 San Diego including, compare hotel deals, see 화성 출장안마 60 photos and 4 tips from 1574 visitors 여주 출장샵 about gaming.

    BalasHapus