Rabu, 06 April 2011

Kekerasan dalam Pendidikan

Menurut Jack D. Douglas dan Frances Chalut Waksler, istilah kekerasan (violence) digunakan untuk menggambarkan perilaku, baik secara terbuka (overt) maupun tertutup (covert), dan baik yang bersifat menyerang (offensive) maupun bertahan (defensive), yang disertai penggunaan kekuatan kepada orang lain.
Dari definisi di atas, dapat ditarik beberapa indikator kekerasan: pertama¸ kekerasan terbuka yakni kekerasan yang dapat dilihat atau diamati secara langsung, seperti perkelahian, tawuran, bentrokan massa, atau yang berkaitan dengan fisik. Sebagai contoh adalah kasus pengeroyokan 4 siswa SMKI terhadap temannya Suharyanyo (17 tahun), siswa kelas tiga SMKI yang dianiaya hingga meninggal karena alasan dugaan penipuan order mendalang. Kedua, kekerasan tertutup yakni kekerasan tersembunyi atau tidak dilakukan secara langsung, seperti mengancam, intimidasi, atau simbol-simbol lain yang menyebabkan pihak-pihak tertentu merasa takut atau tertekan. Ancaman dianggap sebagai bentuk kekerasan¸ sebab orang hanya mempercayai kebenaran ancaman dan kemampuan pengancam mewujudkan ancamannya. Misalnya, kasus demonstrasi mahasiswa menolak SK Rektor UGM Yogyakarta tentang Biaya Operasional Pendidikan atau BOP, kedua belah pihak saling mengancam. Di satu sisi, pihak UGM akan melakukan sweeping KTP para demonstran, di pihak lain, mahasiswa mengancam akan melakukan demo besar-besaran.
Ketiga, kekerasan agresif (offensive) yakni kekerasan yang dilakukan untuk mendapatkan sesuatu seperti perampasan, pencurian, pemerkosaan atau bahkan pembunuhan. Indikator kekerasan ini sudah masuk prilaku kriminal, di mana pelakunya dapat dikenakan sanksi menurut hukum tertentu. Contohnya kasus pembobolan di Universitas Jember, pencabulan terhadap siswa SD atau SLTP, atau penembakan guru SD hingga tewas. Keempat, kekerasan defensif (defensive) yakni kekerasan yang dilakukan sebagai tindakan perlindungan, seperti barikade aparat untuk menahan aksi demo lainnya. Sengketa tanah warga dengan pihak sekolah, merupakan contoh yang relevan.
Dari sisi tingkat (level) kekerasan, intensitas suatu kekerasan bisa meningkat dari kekerasan ringan atau potensi menjadi kekerasan tingkat sedang bahkan dapat berlanjut pada kekerasan tingkat berat, berupa tindak kriminal dalam pendidikan. Kekerasan disebut dalam bentuk potensi, bilamana memiliki indikator sebagai berikut: bersifat tetutup, berupa unjuk rasa untuk menyampaikan aspirasi, pelecehan nama baik seseorang, dan ancaman atau intimidasi. Bila kekerasan tertutup berubah menjadi konflik terbuka, unjuk rasa berubah menjadi bentrok, ancaman berubah menjadi tindakan nyata, dan kekerasan defensif menjadi ofensif, maka saat itu juga potensi berubah menjadi kekerasan.
Meski demikian, kekerasan dalam pendidikan tidak selalu terjadi secara berurutan dari potensi (ringan), menjadi kekerasan (sedang), lalu tindak kriminal (berat). Bisa saja kekerasan yang berlangsung hanya sampai pada potensi saja, tidak berlanjut ke tingkat atasnya. Kadang terjadi kekerasan berbentuk tindak kriminal, tanpa didahului oleh potensi maupun kekerasan sebelumnya. Akan tetapi penelitian ini ditemukan bahwa pada kasus tertentu kekerasan ringan berlanjut menjadi kekerasan sedang, bahkan menjadi tindak kriminal.
Dari 6 surat kabar yakni Bernas, Kedaulatan Rakyat, Jawa Pos, Republika, Kompas, Suara Merdeka, yang dipilih secara acak (random sampling), ditemukan sebanyak 71 kasus potensi kekerasan atau tingkat ringan yang umumnya terjadi karena sebab tertentu yakni: masalah sistem Penerimaan Siswa Baru (PSB), masalah kenaikan biaya pendidikan, masalah demokratisasi dan transparansi, penyelenggaraan pendidikan, terutama di lingkungan kampus, masalah lingkungan dan sosial, masalah yang muncul secara spontan karena adanya momen tertentu, dan masalah lainnya.
Sedangkan kekerasan dalam kategori sedang, dalam penelitian ini, ditemukan 93 kasus yang sebagian besar muncul secara langsung tanpa didahului oleh kekerasan sebelumnya. Kasus ini berupa kekerasan antar pihak sekolah, kekerasan antar pelajar/mahasiswa, kasus kekerasan guru terhadap siswa dan sebaliknya, kekerasan pelajar terhadap guru, kasus kekerasan mahasiswa terhadap masyarakat dan sebaliknya, kekerasan masyarakat terhadap siswa.
Adapun kasus kriminalitas dalam pendidikan (tingkat berat) biasanya berkutat pada pencabulan, penculikan, pencurian, bahkan aksi pembunuhan. Siswi SD dan SLTP termasuk yang sering menjadi korban pencabulan yang acap kali dilakukan oleh pelaku yang sudah dikenal atau dekat. Sedang kasus penculikan dilakukan karena motif tertentu seperti permintaan uang tebusan. Aksi pencurian juga mewarnai kekerasan masyarakat kepada pihak sekolah/kampus. Sementara tindak kriminal berupa pembunuhan sebagaimana menimpa guru di Aceh yang mencapai 200 kasus dengan 50 korban meninggal dan 100 lainnya mengalami cacat fisik permanen dan kehilangan tempat tinggal karena rumahnya terbakar. Di kalangan pelajar dan mahasiswa, bentuk tindak kriminal yang sering terjadi adalah peredaran dan konsumsi narkoba sebagaimana yang terjadi di Sleman dan Yogyakarta.
Humanisasi Pendidikan 
Mengingat bahwa pendidikan adalah ilmu normatif, maka fungsi institusi pendidikan adalah menumbuh-kembangkan subyek didik ke tingkat yang normatif lebih baik, dengan cara/jalan yang baik, serta dalam konteks yang positif. Disebut subyek didik karena peserta didik bukan merupakan obyek yang dapat diperlakukan semaunya pendidik, bahkan seharusnya dipandang sebagai manusia lengkap dengan harkat kemanusiannya.
Menurut Freire, fitrah manusia sejati adalah menjadi pelaku atau subyek, bukan penderita atau obyek. Panggilan manusia sejati adalah menjadi pelaku yang sadar, yang bertindak mengatasi dunia serta realitas yang menindasnya. Dunia dan realitasnya bukan “sesuatu yang ada dengan sendirinya”, dan karena itu “harus diterima menurut apa adanya”, sebagai suatu takdir atau nasib yang tak terelakkan. Manusia harus menggeluti dunia dan realitas dengan penuh sikap kritis dan daya cipta, dan itu berarti manusia mampu memahami keberadaan dirinya. Oleh karena itu, pendidikan harus berorientasi pada pengenalan realitas diri manusia dan dirinya sendiri, dan harus mampu mendekatkan manusia dengan lingkungannya.
Adanya beberapa bentuk kekerasan dalam pendidikan yang masih merajalela merupakan indikator bahwa proses atau aktivitas pendidikan kita masih jauh dari nilai-nilai kemanusiaan. Di sinilah urgensi humanisasi pendidikan. Humanisasi pendidikan merupakan upaya untuk menyiapkan generasi yang cerdas nalar, cerdas emosional, dan cerdas spiritual, bukan menciptakan manusia yang kerdil, pasif, dan tidak mampu mengatasi persoalan yang dihadapi.
Dari beberapa literatur pendidikan, ditemukan beberapa model pembelajaran yang humanistik ini yakni: humanizing of the classroom, active learning, quantum learning, quantum teaching, dan the accelerated learning.
Humanizing of the classroom ini dilatarbelakangi oleh kondisi sekolah yang otoriter, tidak manusiawi, sehingga banyak menyebabkan peserta didik putus asa, yang akhirnya mengakhiri hidupnya alias bunuh diri. Kasus ini banyak terjadi di Amerika Serikat dan Jepang. Humanizing of the classroom ini dicetuskan oleh John P. Miller yang terfokus pada pengembangan model “pendidikan afektif”. Pendidikan model ini bertumpu pada tiga hal: menyadari diri sebagai suatu proses pertumbuhan yang sedang dan akan terus berubah, mengenali konsep dan identitas diri, dan menyatupadukan kesadaran hati dan pikiran. Perubahan yang dilakukan tidak terbatas pada substansi materi saja, tetapi yang lebih penting pada aspek metodologis yang dipandang sangat manusiawi.
Active learning dicetuskan oleh Melvin L. Silberman. Asumsi dasar yang dibangun dari model pembelajaran ini adalah bahwa belajar bukan merupakan konsekuensi otomatis dari penyampaian informasi kepada siswa. Belajar membutuhkan keterlibatan mental dan tindakan sekaligus. Pada saat kegiatan belajar itu aktif, siswa melakukan sebagian besar pekerjaan belajar. Mereka mempelajari gagasan-gagasan, memecahkan berbagai masalah dan menerapkan apa yang mereka pelajari.
Dalam active learning, cara belajar dengan mendengarkan saja akan cepat lupa, dengan cara mendengarkan dan melihat akan ingat sedikit, dengan cara mendengarkan, melihat, dan mendiskusikan dengan siswa lain akan paham, dengan cara mendengar, melihat, diskusi, dan melakukan akan memperoleh pengetahuan dan ketrampilan, dan cara untuk menguasai pelajaran yang terbagus adalah dengan mengajarkan. Belajar aktif merupakan langkah cepat, menyenangkan, dan menarik. Active learning menyajikan 101 strategi pembelajaran aktif yang dapat diterapkan hampir untuk semua materi pembelajaran.
Adapun quantum learning merupakan cara pengubahan bermacam-macam interaksi, hubungan dan inspirasi yang ada di dalam dan di sekitar momen belajar. Dalam prakteknya, quantum learning menggabungkan sugestologi, teknik pemercepatan belajar dan neurolinguistik dengan teori, keyakinan, dan metode tertentu. Quantum learning mengasumsikan bahwa jika siswa mampu menggunakan potensi nalar dan emosinya secara jitu akan mampu membuat loncatan prestasi yang tidak bisa terduga sebelumnya. Dengan metode belajar yang tepat siswa bisa meraih prestasi belajar secara berlipat-ganda. Salah satu konsep dasar dari metode ini adalah belajar itu harus mengasyikkan dan berlangsung dalam suasana gembira, sehingga pintu masuk untuk informasi baru akan lebih besar dan terekam dengan baik.
Sedang quantum teaching berusaha mengubah suasana belajar yang monoton dan membosankan ke dalam suasana belajar yang meriah dan gembira dengan memadukan potensi fisik, psikis, dan emosi siswa menjadi suatu kesatuan kekuatan yang integral. Quantum teaching berisi prinsip-prinsip sistem perancangan pengajaran yang efektif, efisien, dan progresif berikut metode penyajiannya untuk mendapatkan hasil belajar yang mengagumkan dengan  waktu yang sedikit. Dalam prakteknya, model pembelajaran ini bersandar pada asas utama bawalah dunia mereka ke dunia kita, dan antarkanlah dunia kita  ke dunia mereka. Pembelajaran, dengan demikian merupakan kegiatan full content yang melibatkan semua aspek kepribadian siswa (pikiran, perasaan, dan bahasa tubuh) di samping pengetahuan, sikap, dan keyakinan sebelumnya, serta persepsi masa mendatang. Semua ini harus dikelola sebaik-baiknya, diselaraskan hingga mencapai harmoni (diorkestrasi).
The accelerated learning merupakan pembelajaran yang dipercepat. Konsep dasar dari pembelajaran ini adalah bahwa pembelajaran itu berlangsung secara cepat, menyenangkan, dan memuaskan. Pemilik konsep ini, Dave Meier menyarankan kepada guru agar dalam mengelola kelas menggunakan pendekatan Somatic, Auditory, Visual, dan Intellectual (SAVI). Somatic dimaksudkan sebagai learning by moving and doing (belajar dengan bergerak dan berbuat). Auditory adalalah learning by talking and hearing (belajar dengan berbicara dan mendengarkan). Visual diartikan learning by observing and picturing (belajar dengan mengamati dan mengambarkan). Intellectual maksudnya adalah learning by problem solving and reflecting (belajar dengan pemecahan masalah dan melakukan refleksi).
Bobbi DePorter menganggap accelerated learning dapat memungkinkan siswa untuk belajar dengan kecepatan yang mengesankan, dengan upaya yang normal dan dibarengi kegembiraan. Cara ini menyatukan unsur-unsur yang sekilas tampak tidak mempunyai persamaan, tampak tidak mempunyai persamaan, misalnya hiburan, permainan, warna, cara berpikir positif, kebugaran fisik dan kesehatan emosional. Namun semua unsur ini bekerja sama untuk menghasilkan pengalaman belajar yang efektif. 
Dalam Islam, paradigma pendidikan yang dipakai adalah persenyawaan antara anthropocentris dan theocentris. Artinya proses perkembangan moral manusia itu didasari nilai-nilai islami yang dialogis terhadap tuntutan Tuhan, tuntutan dinamika sosial, dan tuntutan pengembangan fitrah lebih cenderung kepada pola hidup yang harmonis antara kepentingan duniawi dan ukhrawi, serta kemampuan belajarnya disemangati oleh misi kekhalifahan dan penghambaan.
Nilai-nilai kemanusiaan berakar pada penciptaan manusia. Manusia tercipta sebagai makhluk dinamis yakni manusia terus menerus berkembang dan berubah setiap saat. Berdasarkan tesis ini, maka nilai-nilai kemanusiaan juga mengalami perkembangan dan perubahan pula. Nilai-nilai kemanusiaan itu berubah sejalan dengan perubahan waktu. Berubah berarti mengalami pergeseran, yaitu bergeser dari satu tahapan menuju ke tahapan yang lain, dari satu tingkatan menuju ke tingkatan berikutnya.
Dimensi theocentris (hablun min Allâh) dan anthropocentris (hablun min al-nâs) adalah dua dimensi bagaikan dua sisi mata uang. Kesalehan seseorang kepada Tuhan tidaklah dianggap cukup jika tidak disertai dengan kesalehannya kepada sesama manusia dan makhluk lainnya. Dengan demikian, dimensi anthropocentris  dan dimensi theocentris pada hakikatnya mewujudkan kesejahteraan anthropocentris. Rasa kemanusiaan yang terpisah dari rasa ketuhanan akan menjadikan manusia memberhalakan manusia. Makna sejati dari kemanusiaan itu sendiri terletak pada kebersamaannya dengan ketuhanan. Demikian juga rasa ketuhanan tidak akan memperoleh makna yang luhur bila tidak diikuti dengan rasa kemanusiaan.
Ada beberapa prinsip tentang manusia yang dapat dijadikan landasan bagi kepentingan pendidikan Islam yang humanis yaitu: pertama, manusia (peserta didik) adalah makhluk termulia yang melebihi makhluk-makhluk lain seperti malaikat, jin, setan, dan hewan. Karena itu, dalam proses pendidikan, para guru lebih mendahulukan strategi pembelajaran yang memanusiakan manusia daripada yang bersifat pemaksaan.
Kedua, manusia memiliki kemampuan berfikir dan permenungan. Ia dapat menjadikan alam sekitarnya sebagai objek renungan, pengamatan, dan arena tempat menimbulkan perubahan yang diingini. Manusia adalah makhluk yang mampu melakukan self-reflection, ia mampu keluar dari dirinya dan menengok ke belakang, kemudian mengadakan penelitian dan permenungan. Ketiga, ada perbedaan perseorangan. Yakni bahwa masing-masing manusia memiliki ciri khas tersendiri berdasarkan potensi yang dimilikinya, baik lahir maupun batin. Menelaah manusia hanya pada satu sisi, akan membawa pada stagnasi pemikiran tentang manusia, sekaligus menjadikannya obyek yang statis.
Keempat, manusia dalam kehidupannya dipengaruhi dan bersosialisasi dengan faktor-faktor bawaan dan alam lingkungan, terutama lingkungan sosial. Manusia membutuhkan sosialisasi di antara mereka. Hubungan antar manusia didasari oleh hubungan kekhalifahan, kebaikan, dan egaliter. Manusia lain dipandang sebagai pribadi yang harus dipersilakan mengembangkan dirinya. Kelima, Manusia dalam kebebasannya mengolah spiritualitasnya untuk dapat menyadari eksistensi Tuhan. Menyadari eksistensi Tuhan akan melahirkan tanggung jawab kepada Sang Ilahi. Menurut Andreas Harefa, lahirnya tanggung jawab itu karena didorong oleh adanya kesadaran mengenai hakikat diri sebagai makhluk langit, makhluk moral spiritual (moral spiritual being) dan tidak hidup hanya untuk minum dan makan.
Pendidikan bukan hanya memberikan keleluasaan terhadap pengabdian spiritual, melainkan yang lebih penting lagi harus memungkinkan terselesaikannya berbagai peristiwa tragis kemanusiaan seperti penindasan, pembodohan, teror, radikalisme, keterbelakangan, dan permasalahan lingkungan. Agar wacana kemanusiaan tanpa kekerasan tetap dikedepankan dalam pendidikan, kurikulum harus menyajikan materi yang memungkinkan bagi tumbuhnya sikap kritis bagi peserta didik.
Kesimpulan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar